26 March, 2009

Simbol - Simbol pada Seni Tarawangsa


Setiap kelompok masyarakat atau setiap suku bangsa mempunyai kebudayaan dan kesenian sendiri-sendiri yang khas dan cenderung berbeda dengan masyarakat lainnya. Dalam kesehariannya, setiap kelompok atau suku bangsa tersebut, baik di dalam berkomunikasi, pergaulan, terutama dalam pelaksanaan upacara-upacara ritual selalu ada penggunaan simbol-simbol dalam rangka mengungkapkan rasa budayanya.

Suatu karya seni juga dapat berperan sebagai media penyampaian suatu perasaan, suasana hati, pemikiran, pesan atau amanat yang diyakini oleh penciptanya kepada penghayatnya. Hal tersebut disampaikan melalui bentuk-bentuk simbol yang mereka gunakan pada karya seni tersebut.

Seni tarawangsa merupakan salah satu jenis seni tradisi yang banyak menyimpan simbol-simbol di dalamnya. Kita dapat melihat penggunaan simbol-simbol tersebut di antaranya pada tata cara penyajian, perlengkapan upacara, alat musik, lagu-lagu, tarian dan lain-lainnya. Simbol-simbol tersebut haruslah terbuka maknanya agar masyarakat luas dapat mengetahui makna-makna yang terkandung di dalamnya. Karena ada semacam kesan bahwa makna dari simbol-simbol itu hanyalah milik dari para tetua belaka. Simbol-simbol itu seolah-olah dianggap sakral sehingga masyarakat awam atau kalangan muda ditabukan untuk mengetahuinya.

Makna dari suatu simbol haruslah diungkapkan, karena simbol-simbol tersebut mengandung pesan-pesan atau nasehat-nasehat yang dapat dikenali dan dihayati sehingga dapat diambil nilai-nilai positifnya. Seperti halnya makna dari bentuk-bentuk simbol yang terdapat pada penyajian seni tarawangsa di Kecamatan Rancakalong di bawah ini:


1. Bentuk dan Makna Simbol pada Sesajen dan Perlengkapan Upacara.


Sudah menjadi ketentuan bahwa sebelum melaksanakan upacara yang bersifat ritual haruslah menyediakan bermacam sesajen dan juga perlengkapan-perlengkapan yang dibutuhkan.


Sesajen merupakan simbol dari sebuah bentuk persembahan kepada para dewa, roh atau arwah nenek moyang, serta pengiring doa-doa agar dewa dan roh nenek moyang menerima dengan bahagia doa mereka sambil menikmati harumnya bunga dan asap kemenyan. Hal tersebut juga bertujuan agar mereka mendapatkan kelancaran dan keselamatan dalam melaksanakan upacara.

Persembahan sesajen juga merupakan suatu bentuk komunikasi manusia dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Budaya timur zaman dahulu termasuk di Nusantara mengajarkan keseimbangan hubungan terhadap 3 hal, yaitu :

1. Vertikal ke atas antara manusia dengan Tuhan.

2. Horisontal antara manusia dengan sesama manusia.

3. Vertikal ke bawah antara manusia dengan alam serta hewan dan tumbuhan.

Konon, sesajen merupakan bentuk pengajaran penghargaan terhadap alam, bukan hanya sebuah teori tapi dengan pelaksanaan secara ritual sehingga jika sebuah tempat dikeramatkan adalah dengan tujuan agar orang tidak merusaknya. Hal tersebut juga merupakan satu bentuk wujud rasa terima kasih atas berkah yang diberikan oleh Tuhan melalui tempat atau benda tersebut, jadi bukan menyamakan benda tersebut atau tempat tersebut dengan Tuhan. Manusia yang memiliki keterbatasan membutuhkan sebuah simbol atau tanda dalam mengungkapkan perasaannya.

Segala bentuk kegiatan simbolik dalam masyarakat tersebut juga merupakan sebuah upaya pendekatan manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menciptakan, menghidupkan dan juga menentukan kematian. Jadi simbol-simbol tersebut selain mempunyai pesan-pesan kepada generasi berikutnya, juga berkaitan dengan religi.

Dapat diyakini bahwa seiring bertambahnya kesadaran manusia, bentuk fisik dari sesajen dan sebagainya akan semakin terabaikan, sebab itu hanya merupakan alat bantu saja. Karena apabila digali lagi makna dari pemberian sesajen dan perlengkapan upacara tersebut, maka kita akan takjub dengan cara pengajaran tempo dulu dan pemahaman leluhur kita saat itu.

Dalam perspektif kultural, sesajen dapat dipandang sebagai adat dan tradisi yang penuh makna. Di dalamnya ada nilai yang jika dipahami akan menjadikan manusia lebih bersikap arif dan bijak terhadap Tuhan, sesamanya, alam serta lingkungan sekitar.

Hal seperti tersebut di atas dapat kita lihat pada beberapa sesajen dan perlengkapan upacara tarawangsa berikut ini.

a. Parupuyan

Parupuyan yaitu wadah untuk pembakaran kemenyan. Parupuyan digambarkan sebagai bentuk dari manusia yang mempunyai nafsu yang disimbolkan oleh bara api dan kesucian yang disimbolkan dengan asap dari pembakaran kemenyan. Asap dari pembakaran kemenyan pun mempunyai pengertian sebagai simbol terhubungnya dunia manusia dengan dunia atas atau dunia para roh leluhur. Parupuyan mempunyai pengertian bahwa manusia harus bisa menghilangkan segala hawa nafsunya sehingga bisa mencapai kesucian untuk dapat menuju dunia atas.



b. Kemenyan

Wangi khas asap yang dihasilkan dari pembakaran kemenyan dianggap sebagai media penyampaian pesan, dalam hal ini manusia mencoba untuk mengundang arwah atau roh para leluhur untuk dapat menghadiri upacara yang akan mereka laksanakan. Hal tersebut mempunyai tujuan untuk menghormati arwah para leluhur dengan cara mengundangnya untuk “turut serta” bersuka cita, karena dengan jasa dari para leluhurlah masyarakat Rancakalong kini mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kemenyan yang biasa digunakan adalah kemenyan jenis durame atau kemenyan berwarna hitam (Styrax Benzoine).
Selain hal di atas, dalam masyarakat pedesaan pada umumnya ada pengetahuan tentang alam secara terbatas. Segala sesuatu yang tampak dapat mereka identifikasi sedang segala sesuatu yang tidak tampak atau diluar kemampuan akalnya, mereka hubungkan dengan hal-hal yang supranatural. Untuk itulah mereka percaya bahwa ada sesuatu yang mengatasi segalanya di dunia tempat ia berada. Untuk mempengaruhi kekuatan alam supranatural, mereka menggunakan upacara-upacara tertentu, misalnya dengan sesajen, berkurban dan lain sebagainya.

Di dalam menjaga keseimbangan alam mereka memiliki kepercayaan tertentu, yang berhubungan dengan supranatural itu dan mereka tidak menyadari makna apa yang ada dibalik kepercayaan itu kalau berdasarkan logika. Sekalipun kepercayaan itu sepintas lalu bersifat takhyul dan tidak masuk akal, namun apabila kita renungkan ternyata memiliki tujuan tertentu, yang tidak disadari oleh kebanyakan orang. Misalnya kepercayaan beberapa orang ketika menebang pohon besar di dekat kuburan, memperlakukan barang atau sesuatu pusaka. Mereka percaya adanya kekuatan gaib yang akan mencelakakan apabila larangan itu dilanggarnya, sehingga untuk itu seringkali diberi sesajen, kemenyan, menempatkan bunga (kembang setaman) dan sebagainya

c. Kain putih

Kain berwarna putih tersebut digunakan sebagai alas dari semua sesajian. Warna putih merupakan simbol kebaikan, putih itu berhubungan dengan cahaya spiritual (King Gunawan, 2004:34).

Warna putih juga bermakna netral, namun tidak hanya bermakna netral, putih bisa diartikan cahaya, terang, dan bersih. Jika dikaitkan dalam hal berbusana, putih sering menjadi pilihan dalam busana kantor karena membuat si pemakai merasa sejuk dan nyaman. Putih juga melambangkan kepolosan dan kebersihan. Hal itu juga menjelaskan para pelaku medis menggunakan seragam putih untuk merepresentasikan bersih dan bebas kuman.

Dalam kaitannya dengan penggunaan kain putih sebagai alas sesajen pada upacara tarawangsa adalah bahwa warna putih menggambarkan kesucian, yang mengandung makna bahwa setiap manusia di dalam mengerjakan sesuatu hal haruslah didasari dengan hati yang suci dan bersih.


d. Kendi berisi air, daun hanjuang, dan hihid

Hal di atas merupakan simbol dari empat unsur yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Kendi menggambarkan bumi,
hihid menggambarkan angin atau udara, daun hanjuang sebagai gambaran dari kehidupan, dan air sebagai sumber kehidupan. Keempat elemen tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan mempunyai peranan penting dalam kehidupan semua umat manusia. Kita tidak akan mungkin bisa hidup tanpa salah satu elemen tersebut. Manusia dalam kesehariannya sangat membutuhkan semua unsur tersebut, karena itu manusia berkewajiban untuk menjaga dan memeliharanya.

e. Tampolong

Tampolong adalah wadah untuk meludah, terutama oleh orang yang mengunyah tembakau. Juga dikenal sebagai cuspidor, walaupun nama ini juga digunakan untuk tempat meludah di dokter gigi. Cuspidor masih diproduksi sekarang, terutama ditemukan di tempat olahraga dekat tempat minum. Wadah serupa telah digunakan di Asia barat daya selama berabad-abad. Tampolong dikenal di Amerika Serikat dan Inggris kurang lebih sekitar tahun 1840-an (http://id.wikipedia.org).

Tampolong memiliki alas datar, biasanya diberi pemberat agar tidak mudah terbalik. Penggunaan tampolong dianggap kemajuan dalam hal kebersihan dan kesopanan, karena orang tidak meludah sembarangan di tanah, jalan, dan sisi jalan. Intinya adalah bahwa tampolong adalah wadah atau tempat yang terbuat dari bahan logam untuk membuang kotoran. Benda tersebut mengandung pengertian bahwa manusia haruslah kuat dalam menghadapi segala cobaan, walaupun manusia tersebut diperlakukan seperti tampolong tetapi manusia tetap harus mempunyai kegunaan. Tampolong pada upacara tarawangsa dipakai sebagai wadah untuk membuang air bekas berkumur-kumur para sesepuh sebelum membaca mantra atau doa-doa.

f. Poci


Poci yaitu tempat untuk air minum. Air yang ada dalam poci tersebut digunakan untuk berkumur–kumur dengan tujuan untuk membersihkan mulut. Aktivitas tersebut mengandung pengertian bahwa manusia harus menjaga hal- hal yang akan diucapkannya agar tidak sampai mengucapkan kata-kata kotor atau kata–kata yang dapat menyakiti orang lain. Pedoman utama mereka terletak pada sikap hati-hati dan terukur, khususnya dalam berbicara. Hal itu untuk menghindari salah paham. Sementara dalam pergaulan sehari-hari, setiap warga dituntut mampu berbuat baik, bertanggung jawab, dan menepati janji.

Kegiatan berkumur ini biasanya dilakukan oleh sesepuh atau tetua sebelum memulai upacara tarawangsa yaitu pada saat sebelum membaca mantra-mantra.


g. Selendang

Selendang yang digunakan dalam upacara mempunyai empat macam warna yaitu warna merah, kuning, hijau, dan putih. Setiap warna tersebut menggambarkan karakter-karakter yang dimiliki oleh manusia, yaitu:

1. Warna merah menggambarkan sifat pemarah, berani, dan angkara murka.

2. Warna kuning menggambarkan kejujuran, kemuliaan, dan sikap bertanggung jawab.

3. Warna hijau menggambarkan kedamaian dan ketentraman.

4. Warna putih menggambarkan sifat ksatria, suci, dan membela kebenaran.


h. Keris


Keris adalah sejenis senjata tikam khas yang berasal dari Indonesia, atau mungkin lebih tepat Nusantara. Berdasarkan dokumen-dokumen purbakala, keris dalam bentuk awal telah digunakan sejak abad ke-IX. Kuat kemungkinannya bahwa keris telah digunakan sebelum masa tersebut (http://id.wikipedia.org).

Keris, berangkat dari pengertian secara bahasa yaitu dari bahasa Jawa “mengker kerono aris” yang berarti menuju kebijaksanaan, menuju Yang Maha Bijaksana, peringkat yang menjadi simbol kehidupan manusia dan hubungannya dengan Tuhan. Tidak hanya sebagai sebuah bentuk simbol, keris juga merupakan hasil karya spiritual yang mempunyai nilai-nilai keindahan, nilai-nilai estetika dan tentu saja nilai pesan-pesan moral.

Keris pada seni tarawangsa melambangkan kebijaksanaan, kepandaian, keuletan, dan ketangkasan dalam menghadapi segala tantangan hidup yang berliku. Agar dapat selamat dari segala tipu daya manusia hendaknya memiliki pikiran tajam, dapat menghadapi segala macam situasi, lalu bertindak dengan cepat, tepat, tangkas dan ulet.


i. Padi

Padi memiliki makna yang sangat dalam bagi masyarakat Rancakalong yaitu sebagai sumber kehidupan. Begitu berartinya padi, membuat masyarakat Rancakalong senantiasa mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan rezeki yang telah mereka dapatkan.

Padi dipercaya sebagai penjelmaan Dewi Sri, yaitu dewi kemakmuran. Agar hidup manusia mencapai kemakmuran maka setiap orang harus mampu ngreksa Dewi Sri dalam arti harus bersedia mengolah lahan pertanian hingga dapat menghasilkan bahan makanan pokok untuk kebutuhan sehari-hari. Adapun Nyi Pohaci atau dewi padi adalah penunjang utama kehidupan. "Euweuh sangu mah urang moal hirup," begitu kata mereka dalam bahasa Sunda. Tanpa nasi kita tidak akan hidup, begitu kurang lebih artinya.

Secara filsafati padi memiliki sifat semakin tua semakin merunduk. Sama halnya dengan manusia, sudah semestinya semakin tua semakin mengolah batin untuk menundukkan diri terhadap Sang Pencipta dan memiliki sifat rendah hati terhadap sesama.


j. Air

Masyarakat Rancakalong menggambarkan air sebagai simbol dari kebersihan dan kehidupan. Air senantiasa mereka pergunakan untuk membersihkan diri mereka sehingga dapat mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Bersih mempunyai dua pengertian, pertama bersih tubuh jasmani dari noda dan kotoran (najis) dan kedua bersih rohani dan jiwa dari segala hal yang dapat mengganggu ketulusan dalam mengabdi (menyembah) kepada Tuhan. Bersih dalam arti yang pertama yakni bersih tubuh jasmani dari segala noda dan kotoran inilah yang memerlukan air bersih, air dalam pengertian ini adalah air yang turun dari langit atau yang keluar dari bumi yang belum tercemar oleh noda dan kotoran (najis). Misalnya; air hujan, air sungai, air laut, air sumur, air salju, air embun, dan air dari mata air.

Keberadaan air pun sangat mereka hargai sebagai salah satu penyangga kehidupan, karena manusia tidak akan dapat hidup tanpa air, serta penggunaan air untuk mengairi lahan pertanian mereka.


k. Kelapa muda

Kelapa muda mengandung makna bahwa setiap perbuatan manusia haruslah berguna dan bermanfaat, baik bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, agama, maupun bangsa.

Manusia haruslah bermanfaat layaknya buah kelapa, karena semua bagian dari kelapa bisa dimanfaatkan oleh manusia, mulai dari sabut, tempurung, hingga isi dan airnya.



l. Buah-buahan dan sayuran

Merupakan suatu bentuk persembahan sebagai simbol yang akan mengingatkan mereka untuk senantiasa bersyukur akan apa yang telah mereka dapatkan (panen). Makna lainnya adalah bahwa hasil buah-buahan dan sayuran tersebut merupakan suatu karya Tuhan melalui manusia, artinya manusia menanam, Tuhan memberikan kehidupan. Dalam hal ini tersirat karunia Tuhan kepada manusia sehingga manusia wajib mensyukurinya.


m. Rurujakan (7 macam rujak)

Angka 7 (tujuh) yang ditunjukkan pada jumlah macam rujak menggambarkan kalau dalam satu minggu ada tujuh hari yang harus diisi dengan kegiatan-kegiatan yang sifatnya positif. Angka 7 merupakan simbol dari jumlah hari yang mengatur hidup manusia. Rujak-rujak tersebut terdiri atas beberapa jenis, yaitu rujak asem, rujak roti, rujak pisang, rujak kelapa, rujak kembang, rujak tebu, dan rujak kopi.

n. Uang.
Uang menggambarkan rejeki yang harus dicari oleh setiap orang dalam hidup. Uang, ternyata bukan hanya “benda” yang digunakan sebagai satuan nilai dalam jual beli. Uang telah menjadi bagian dari kelengkapan sesajen dalam ritual atau upacara adat. Dengan kata lain, upacara, sebagai tindakan yang terikat adat dan kepercayaan, pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dengan uang. Karena uang, seluruh kebutuhan upacara, baik yang bersifat spiritual maupuan material bisa dipenuhi: benda-benda upacara, pakaian adat, sesajen, tempat upacara, fasilitas upacara, makanan, jumlah hewan yang dikorbankan dan lain-lain. Uang pun bisa menjadi simbol status sosial, kepangkatan, gengsi, atau harga diri.
Sebagai sesaji, uang yang dipersembahkan biasanya bervariasi nilai nominalnya. Juga, tata cara penyajiannya pun berbeda antarbudaya masyarakat. Ada yang berupa uang kepeng, pecahan uang logam, hingga uang kertas yang nilainya ribuan sampai ratusan ribu rupiah, tapi ada pula yang memakai uang tiruan. Demikian juga dengan tata cara mempersembahkannya, ada yang dicampur dengan beras, ada juga yang dibungkus kertas atau sapu tangan yang disemprot minyak wangi, tapi tidak sedikit yang dibakar atau ditanam dalam tanah.

Dalam penyajian seni tarawangsa uang yang dipergunakan adalah uang benggol. Mungkin dalam perkembangannya nanti, jenis uang tersebut akan digantikan dengan uang recehan dalam bentuk rupiah.


o. Telur

Telur adalah simbol kehidupan yang akan memberi kesuburan atau umur yang panjang. Hal ini dihubungkan dengan kebangkitan atau “reinkarnasi” alam semesta sesudah “kematian”, dan juga dengan beberapa mitos penciptaan yang mengambarkan sebutir telur sebagai awal kehidupan.yang mempunyai makna bahwa setiap manusia harus mengalami reborn atau lahir baru.


2. Bentuk dan Makna Simbol Pada Tata Cara Penyajian Seni Tarawangsa


Pada seni tarawangsa, adab dan tata cara penyajiannya harus dimulai dengan kelengkapan dan persembahan sesajen dan minta ijin kepada arwah para leluhur. Penyajian tarawangsa merupakan sebuah prosesi inti dan lebih bersifat batiniah. Penyajian seni tarawangsa ini biasanya dilakukan pada waktu sehabis panen, ngalaksa, rayagungan, ruwatan, dan sebagainya. Penyajian seni tarawangsa ini dilaksanakan pada malam hari yaitu sekitar pukul 19.30 wib sampai dengan pukul 04.00 wib. Pelaksanaan seni tarawangsa dipimpin oleh saehu yang terdiri dari seorang saehu laki-laki dan seorang saehu perempuan.

Penyajian seni tarawangsa tidak bisa dilakukan sembarangan. Ada beberapa ketentuan yang harus dilakukan dan ditaati, di antaranya adalah :

a. Harus menyediakan sesajen dan permohonan ijin pada arwah leluhur.

b. Pelaksanaan harus dilakukan pada malam hari.

c. Harus dilakukan di dalam ruangan atau dalam rumah.

d. Penari haruslah orang yang telah dewasa.

e. Wanita yang sedang haid tidak diperkenankan turut.

Apabila semua ketentuan di atas sudah terpenuhi dan semua perlengkapan upacara ini sudah memadai, maka upacara akan segera dimulai. Pelaksanaan upacara terbagi menjadi beberapa tahapan, yaitu:

1. Ngukus

Ngukus[1] biasanya dilakukan oleh seorang kuncen[2] atau tokoh masyarakat yang dituakan. Kemenyan yang dibakar sebelumnya telah diberi mantra-mantra yang bertujuan untuk mengundang roh-roh leluhur untuk datang menghadiri upacara yang akan dilaksanakan. Setelah kemenyan dibakar, dilanjutkan dengan pengolesan minyak kelapa pada keris yang selanjutnya diasapi di atas pembakaran kemenyan tersebut.

2. Ijab Kabul

Setelah melakukan hal di atas, saehu kemudian melaksanakan Ijab Kabul yang merupakan suatu pengantar yang disampaikan oleh saehu sebagai pemimpin upacara yang ditujukan untuk seluruh peserta upacara, isinya mengemukakan maksud dan tujuan diadakannya upacara tersebut, ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan juga mendoakan arwah para leluhur yang sekaligus sebagai pernyataan akan segera dilaksanakannya upacara.

3. Lulungsur

Lulungsur[3] adalah sebuah prosesi yang bertujuan untuk menjemput atau mengundang para roh-roh suci untuk “hadir” pada pelaksanaan upacara. Pada prosesi ini, ineban dikeluarkan dari dalam padaringan atau paniisan[4] ke tempat upacara.

4. Nema

Nema mengandung pengertian menyambung giliran. Nema juga mengandung arti menerima. Seorang panema berkewajiban untuk melanjutkan tugas yang telah dilaksanakan oleh pelaksana pertama. Dalam upacara nema terdapat dua saehu, yaitu saehu perempuan dan saehu laki-laki. Kedua saehu tersebut akan menari secara bergiliran sesuai dengan isyarat tertentu. Apabila kedua saehu tersebut sudah menari dan mendekati keadaan trance, acara selanjutnya adalah nema syukuran, pada acara ini semua peserta upacara diperbolehkan menari secara bergiliran.

5. Nyumpingkeun

Nyumpingkeun[5] adalah sebuah upaya untuk mengundang dan mengumpulkan roh para leluhur, terutama roh yang semasa hidupnya telah berjasa terhadap daerah Rancakalong ke tempat upacara tarawangsa akan dilaksanakan. Sesi ini juga ditujukan kepada Dewi Sri untuk datang ke tempat upacara. Bagian ini dipimpin oleh saehu perempuan, yang dilengkapi dengan perlengkapan kecantikan.

6. Nginebkeun

Nginebkeun merupakan prosesi terakhir yaitu berupa tarian untuk mengantarkan kembali Dewi Sri dari tempat upacara menuju ke dalam padaringan atau paniisan. Ineban yang berjumlah sembilan wadah kemudian dibawa satu persatu secara berurutan untuk dipindahkan. Cara memindahkannya tidak boleh sembarangan, namun dengan cara ditimang-timang secara perlahan dan halus.

Sembilan wadah menggambarkan bahwa dalam kehidupannya manusia mulai diperkenalkan pada angka sembilan sebelum kehadirannya didunia, buktinya manusia harus melewati sembilan bulan dalam kandungan ibu sebelum mampu menatap indahnya warna-warni dunia. Setelah mulai mengenali dunia dan berbagai objek disekelilingnya, pada bulan ke sembilan manusia mulai belajar menjejakan kakinya tanpa bantuan tangan orang lain, karena pada bulan ke sembilan lah seorang anak mulai belajar berdiri dengan kedua kakinya.

Ketika mengenal pendidikan, manusia mulai belajar akan esensi hidup, memulai pencarian jati diri bahkan mulai belajar tentang agama yang ia yakini. Pemeluk Islam di Indonesia mengenal sembilan wali (wali songo) sebagai tokoh-tokoh penyebar agama Islam di Indonesia. Angka sembilan pun akan mengarah pada kesempurnaan dari 99 nama Allah swt yang terangkum dalam asmaul husna.


[1] Membakar kemenyan.

[2] Juru kunci, biasanya untuk tempat-tempat yang dikeramatkan.

[3] Menurunkan.

[4] Tempat beras.

[5] Mendatangkan, menghadirkan.



No comments:

Post a Comment