15 December, 2009

Seni Degung

PERKEMBANGAN SENI DEGUNG


Degung adalah salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas masyarakat Sunda. Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang dengan pesat, awal perkembangannya diperkirakan sekitar akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19. Masyarakat Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di hulu sungai, misalnya kerajaan Galuh, memiliki pengaruh tersendiri terhadap kesenian degung, terutama lagu-lagunya. Lagu-lagu degung banyak diwarnai oleh kondisi sungai, contohnya lagu manintin, galatik mangut, kintel buluk, dan sang bango. Kebiasaan Marak Lauk masyarakat Sunda selalu diiringi gamelan renteng lalu berkembang ke gamelan degung.

Istilah degung di masyarakat memiliki beberapa pengertian. Ada yang mengatakan bahwa degung adalah nama dari sebuah surupan (tangga nada), dan ada pula yang mengatakan bahwa degung itu adalah nama dari suatu gamelan yang ada di Jawa Barat. Dugaan-dugaan lain dari masyarakat Sunda yang mengatakan bahwa degung adalah musik kerajaan atau kadaleman dihubungkan pula dengan kirata basa, yaitu bahwa kata “degung” secara etimologi berasal dari kata “ngadeg” (berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak; bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa kesenian ini digunakan demi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. E. Sutisna salah seorang nayaga L.S. Degung Parahyangan, mengatakan bahwa kata “degung” dihubungkan dengan kenyataan bahwa gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh para pangagung (Bupati). Dalam literatur, istilah “degung” pertama kali muncul pada tahun 1879, yaitu dalam kamus susunan. Dalam kamus ini juga dijelaskan bahwa degung adalah nama instrument musik yang terdiri dari satu set benda yang menganga dan digantung, dibunyikan dengan cara dipukul.

Kemudian di dalam seni karawitan Sunda hidup sebuah jenis kesenian yang mirip dengan degung, yaitu kesenian “Goong Renteng”. Bahkan Atik Soepandi, S.kar berpendapat bahwa degung itu berasal dari Goong Renteng. Pendapat itu masih perlu ada pembuktian yang lebih menyakinkan, karena meskipun kedua jenis kesenian tersebut memiliki kesamaan, tapi belum tentu degung itu berasal dari Goong Renteng.

Dulu gamelan degung hanya ditabuh secara gendingan (instrumental). Bupati Cianjur ,RT. Wiranatakusumah melarang degung ditabuh untuk mengiringi nyanyian (vokal) karena hal seperti itu dianggap tabu (rucah). Pada tahun 1920 Bupati ini dipindahkan menjadi Bupati Bandung, perangkat gamelan degung di Pendopo Cianjur juga turut dibawa bersama dengan semua nayaganya (para penabuh), yang dipimpin oleh Bapak Idi. Sejak itu gamelan degung yang bernama “Pamagerasari” ini menghiasi Pendopo Bandung dengan lagu-lagunya.

Menyaksikan dan mendengarkan keindahan degung, seorang saudagar keturunan Palembang di Pasar Baru Bandung, Bapak Anang Thayib, merasa tertarik untuk menggunakannya dalam acara hajatan yang akan diselenggarakannya. Kebetulan Bapak Anang Thayib adalah sahabat Bupati Bandung. Oleh sebab itu dia mengajukan permohonan kepada Bupati agar diizinkan menggunakan degung dalam acara hajatannya, dan oleh Bupati diizinkan. Mulai saat itulah degung digunakan dalam acara hajatan umum. Karena permohonan itu semakin banyak, maka Bupati memerintahkan supaya dibuat seperangkat gamelan degung lagi. Dan terwujudlah degung baru yang dinamakan “Purbasasaka” yang dipimpin oleh Bapak Oyo.

Sebelumnya, waditra (alat-alat musik) gamelan degung hanya terdiri dari koromong (bonang) 13 penclon, cempres (saron panjang) 11 bilah, jenglong 6 penclon, dan 1 buah gong besar. Penambahan-penambahan instrument terjadi sesuai dengan tatanan kebutuhan musikal, misalnya penambahan kendang dan suling oleh Bapak Idi. Gamelan degung Kabupaten Bandung, bersama kesenian lain digunakan sebagai musik gending karesmen (opera Sunda) kolosal “Lutung Kasarung” tanggal 18 juni 1921 dalam rangka menyambut Culture Congres Java Institut. Sebelumnya, pada tahun 1918, Raden Soerawidjaja pernah pula membuat gending karesmen dengan musik degung yang dipentaskan di Medan. Tahun 1929 degung dipakai untuk ilustrasi film cerita pertama di Indonesia berjudul “Lutung Kasarung” oleh L. Heuveldrop dan G. kruger produksi Java Film Company, Bandung. Karya lain yang menggunakan degung sebagai musiknya adalah gending karesmen “Mundinglayadikusumah” oleh M. Idris Sastraprawira dan Raden Djaja Atmadja yang dipergelarkan di Purwakarta pada tahun 1931.

Setelah Bapak Idi meninggal (1945), perkembangan degung tersendat. Apa lagi setelah itu revolusi fisik banyak mengakibatkan penderitaan bagi masyarakat. Walaupun demikian, pada tahun 1954 ,degung mulai dibangkitkan kembali secara serius oleh Bapak Moh. Tarya, Ono Sukarna, dan E. Tjarmedi. Selain menyajikan lagu-lagu yang telah ada, mereka menciptakan lagu-lagu baru degan nuansa lagu-lagu sebelumnya.

Pada tahun 1956, degung mulai disiarkan secara tetap di RRI Bandung dan mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat. Pada tahun 1956, Enoch Atmadibrata membuat tari “cendrawasih” dengan mengunakan musik iringan degung lagu Palwa. Kemudian setiap hari bunyi degung lagu palwa terdengar yaitu setiap pembukaan acara warta berita bahasa Sunda RRI Bandung, sehingga dapat meresap dan membawa suasana khas dalam hati masyarakat Sunda. Pakembangan lagu degung dengan vokal dilanjutkan oleh Grup Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi sekitar tahun 1958. selanjutnya E. Tjarmedi dan rahmat Sukmasaputra, mencoba menggarap degung dengan lagu-lagu alit (sawilet) dari patokan gamelan salendro dan pelog.

01 July, 2009

Tembang Sunda Cianjuran

Karawitan Sunda memiliki beberapa bentuk penyajian diantaranya; karawitan sekar, karawitan gending, karawitan campuran. Karawitan sekar ialah seni suara yang diungkapkan dengan suara mulut, karawitan gending ialah seni suara yang diungkapkan dengan memakai waditra, sedangkan karawitan campuran ialah seni suara campuran antara sekar dan gending (Soepandi, 1970:9). Salah satu contoh karawitan Sunda yang bentuk penyajiannya campuran yaitu Tembang Sunda Cianjuran yang di dalamnya terdapat sekar dan gending.

Dalam sejarah Tembang Sunda Cianjuran, pada masa Dalem Pancaniti (Bupati R. A. A. Koesoemaningrat) Tembang Sunda Cianjuran tidak dikenal di masyarakat luar, bahkan masyarakat Cianjur pun tidak semua mengenal tentang kesenian tersebut, hanya orang-orang tertentu saja (menak) yang mengetahui sekaligus bisa menikmati Tembang Sunda Cianjuran. Tetapi pada masa pemerintahan Etje Majid Tembang Sunda Cianjuran mulai menyebar keseluruh pelosok Jawa Barat, sehingga sampai sekarang seni Tembang Sunda Cianjuran dikenal di kalangan masyarakat luas, dan orang yang menikmati kesenian tersebut tidak hanya kalangan menak saja tetapi kalangan bawahpun bisa menikmati seni Tembang Sunda Cianjuran.

Tembang Sunda Cianjuran merupakan salah satu jenis seni tradisi yang eksistensinya cukup baik di masyarakat Jawa Barat. Hal ini bisa terlihat dari adanya generasi-generasi muda yang eksis dalam seni Tembang Sunda, dengan menghimpun suatu organisasi yang berkecimpung dalam seni Tembang Sunda seperti DAMAS, LISES, DASENTRA, mereka mampu mempertahankan dan menjaga kelestarian seni Tembang Sunda Cianjuran. Banyak upaya yang dilakukan oleh organisasi tersebut supaya seni Tembang Sunda tetap eksis, diantaranya dengan mengadakan kegiatan pasanggiri Tembang Sunda Cianjuran yang diadakan oleh DAMAS, mengadakan pelatihan Tembang Sunda yang diadakan oleh LISES UNPAD, dan membuat berbagai macam karya dengan mencoba mengangkat seni Tembang Sunda Cianjuran yang dikemas oleh DASENTRA.

Adapun waditra yang digunakan dalam Tembang Sunda Cianjuran diantaranya; kacapi indung, kacapi rincik, suling, rebab,dan dilengkapi oleh juru mamaos. Dalam penyajian Tembang Sunda Cianjuran memiliki ciri khas tersendiri, baik dari lagu (mamaos) yang dibawakan maupun dalam pirigan kacapi. Seperti dalam tabuhan kacapi Tembang ada yang disebut pola tabuh pasieupan yang berfungsi untuk mengiringi lagu mamaos yang terdiri dari; papatet, dedegungan, rarancagan, dan jejemplangan, kemudian ada yang disebut pola tabuhan pirigan lagu panambih yang berfungsi untuk mengiringi lagu tandak (terikat oleh birama), dan ada juga yang disebut pola tabuhan kacapi rincik yang berfungsi untuk melilit lagu dalam sekar panambih.

Seperti telah kita ketahui bahwa Tembang Sunda Cianjuran merupakan salah satu jenis kesenian yang cukup dikenal dimasyarakat Jawa Barat dan kelestariannya masih terjaga. Tetapi dibalik semua itu, ada beberapa masalah yang perlu sikapi dalam Tembang Sunda Cianjuran. Seperti adanya pro dan kontra terhadap perkembangan Tembang Sunda Cianjuran dalam segi musikalitasnya, ada masyarakat (seniman) yang patuh terhadap tetekon (aturan) yang sudah ada dalam Tembang Sunda Cianjuran, kemudian ada masyarakat (seniman) yang ingin berkreativitas untuk lebih mengembangkan seni Tembang Sunda Cianjuran. Dengan demikian saya ingin mencoba membahas lebih jauh tentang permasalahan dalam Tembang Sunda Cianjur


A. Sejarah Tembang Sunda Cianjuran


Kesenian Tembang Sunda Cianjuran sebenarnya adalah seni mamaos, dimana kesenian ini lahir di Kabupaten Cianjur. Dikarenakan seni mamaos ini lahir di Kabupaten Cianjur, maka sejak tahun 1930-an kesenian tersebut di namakan Tembang Sunda Cianjuran dan di kukuhkan pada tahun 1962 ketika diadakan musyawarah Tembang Sunda se Pasundan di Bandung. Seni mamaos merupakan seni vokal Sunda dengan menggunakan alat pengiring (instrumen) kacapi indung, kacapi rincik, suling, dan rebab.

Seni mamaos lahir pada masa pemerintahan Bupati Cianjur yang bernama R.A.A. Kusumaningrat sekitar Tahun 1834 – 1864. Bupati kusumaningrat sering tinggal di sebuah bangunan yang bernama pancaniti, di sana beliau sering membuat lagu-lagu mamaos. Pada mulanya mamaos di bawakan oleh kaum pria. Baru pada perempatan pertama abad ke-20 mamaos bisa di pelajari oleh kaum wanita. Hal ini membuktikan bahwa dengan kemunculan para juru mamaos wanita, seperti Raden Anah Rohanah, Raden Siti Sarah, Ibu Imong, Ibu Ooh, Ibu Resna, dan Nyi Mas Saodah memiliki peranan penting dalam Tembang Sunda Cianjuran.

Tembang Sunda Cianjuran berasal dari berbagai seni suara Sunda, seperti pantun, Beluk (mamaca), Degung, serta Tembang Macapat Jawa, yaitu Pupuh. lagu-lagu mamaos yang di ambil dari vokal seni pantun di sebut lagu pantun atau papantunan, atau di sebut juga lagu padjajaran, yang diambil dari nama kerajaan sunda pada masa lampau, sedangkan lagu-lagu yang berasal dari pupuh di namakan Tembang.

Pada masa awal penciptaannya, Tembang Sunda Cianjuran merupakan upaya revitalisasi dari seni Pantun, dimana instrumen yang di gunakan dalam Tembang Sunda Cianjuran adalah kacapi yang teknik memainkannya masih jelas berasal dari seni pantun. Begitu pula lagu-lagunya hampir semua berasal dari seni pantun.

Pada masa pamerintahan Bupati R.A.A. Prawiradiredja yaitu sekitar Tahun 1864-1910 seni Tembang Sunda Cianjuran mulai menyebar ke daerah-daerah lain. Salah seorang tokoh yang berperan dalam penyebaran ini dan mempunyai peranan besar yatiu Raden Etje Madjid Natawiredja, beliau sering di undang untuk mengajarkan seni mamaos ke Kabupaten-kabupaten di tatar Priangan. Ketika mamaos mulai menyebar ke daerah lain, masyarakat di luar cianjur menyebutnya dengan Tembang Sunda Cianjuran, karena kesenian ini berasal dari Kabupaten Cianjur. Sebenarnya istilah mamaos menunjukan pada lagu-lagu yang berpola pupuh, karena istilah mamaos adalah kata untuk memperhalus kata “mamaca” .

Dalam lagu-lagu Tembang Sunda Cianjuran menggunakan laras pelog degung, madenda, salendro, serta mandalungan. Ada beberapa macam wanda (gaya) dalam lagu Tembang Sunda, diantaranya : wanda papantunan, jejemplangan, dedegungan, dan rarancagan, yang sekarang di tambah dengan wanda kakawen serta panambih sebagai wanda tersendiri. Lagu-lagu yang menggunakan wanda papantunan di antaranya: papatet, teja mantri, raja mantri, mupu kembang, pangapungan, dll.

Pada awalnya Tembang Sunda Cianjuran berfungsi sebagai musik hiburan dan alat silaturahmi di kalangan para menak, tetapi setelah berkembang ke daerah lain sampai sekarang Tembang Sunda Cianjuran menjadi seni hiburan yang bersifat profit dan bersifat umum seperti kesenian-kesenian pada umumnya.


B. Menyikapi Masalah Dalam Tembang Sunda Cianjuran.


Tembang sunda merupakan sebuah hasil karya manusia yang memiliki nilai-nilai estetik. Hal ini berdasarkan hasil penelitian para ahli yang telah mendalami tentang Tembang Sunda Cianjuran di tempat kelahirannya yaitu di tanah pasundan Jawa Barat.

Kecenderungan masyarakat terhadap Tembang Sunda Cianjuran dikenal sangat sedikit, sehingga dipandang sebagai kesenian yang kurang diminati masyarakat luas umumnya dan pada khususnya masyarakat Cianjur sendiri. Hal itu disebabkan dengan adanya budaya kitch yang menyebar luas kesemua masyarakat khususnya pada generasi penerus. Dengan pesatnya kemajuan zaman, tidak sedikit bentuk-bentuk kesenian tradisi yang telah berubah fungsi termasuk bentuk penyajiannya, hal tersebut diakibatkan oleh kreativitas para seniman yang ingin menyesuaikan diri dengan keadaan zaman. Salah satu contoh yaitu; dahulu Tembang Sunda Cianjuran hanya berada dilingkungan Pendopo saja yang bertujuan sebagai musik kamar atau kalangenan, tetapi dengan adanya perkembangan zaman, Tembang Sunda Cianjuran sudah menyebar ke seluruh daerah bahkan ke mancanegara. Maka tidaklah heran jika seni Tembang Sunda Cianjuran masih cukup eksis dikalangan masyarakat Jawa Barat.

Meskipun seni Tembang Sunda Cianjuran pelestariannya masih terjaga, tetapi didalamnya terdapat berbagai macam masalah berupa konflik dimasyarakat (seniman) pendukungnya. Seperti adanya pro dan kontra yang terjadi dikalangan masyarakat pendukungnya, ada sebagian masyarakat yang patuh terhadap tetekon (aturan) yang sudah ada, serta masyarakat yang ingin lebih mengembangkan lagi seni Tembang Sunda terutama dalam segi musikalnya. Kemungkinan besar hal ini dipengaruhi oleh rasa ketakutan sebagian masyarakat pendukung terhadap hilangnya nilai-nilai estetik dalam Tembang Sunda Cianjuran, dan sebagian masyarakat yang ingin mempertahankan eksistensi Tembang Sunda dengan cara mengembangkan krearivitas supaya kesenian tersebut tidak tersingkir oleh adanya kemajuan zaman yang semakin pesat. Kita bisa melihat salah satu contoh fenomena terjadinya pro dan kontra dikalangan masyarakat, misalnya dalam masalah senggol (ornament) sering terjadi perbedaan pendapat. Ketika seorang tokoh Tembang Sunda yang bernama Enip Sukanda mencoba memperkenalkan senggol-senggol asli dari Cianjur, sebagian tokoh seniman Tembang Sunda tidak mengakui senggol-senggol tersebut, walapun akhirnya mereka sekarang mengakui terhadap keberadaan senggol tersebut. Pro dan kontra inilah yang menyebabkan seni Tembang Sunda banyak mengalami masalah.

Faktor yang menyebabkan terjadinya pro dan kontra ini adalah pada saat pertama kali Tembang Sunda Cianjuran diciptakan, tidak ada pendokumentasian secara tertulis baik dari segi kesejarahan maupun dari segi musikalitasnya. Untuk menyikapi masalah ini, kita juga harus sadar betul bahwa seni karawitan Sunda bersifat fleksible atau bisa berubah-ubah sesuai dengan perubahan zaman. Dengan demikian, wajar ada sebagian masyarakat yang khawatir terhadap hilangnya keaslian dari Tembang Sunda Cianjuran.

Ababila kita sikapi secara bijaksana mengenai perbedaan pendapat diatas, bisa kita lihat dari segi posotifnya. Dari pendapat yang pertama, masyarakat tidak ingin kehilangan unsur estetik dan keklasikannya, sementara pendapat yang kedua, masyarakat tidak ingin kehilangan seni Tembang Sunda Cianjuran hanya karena tersisih oleh kesenian-kesenian lain yang baru bermunculan. Artinya dalam berkreativitas, seorang seniman harus bisa memberikan insvirasi dan inovasi terhadap Tembang Sunda Cianjuran tanpa menghilangkan unsur-unsur keasliannya dan tidak terlalu jauh dari aturan-aturan yang sudah ada, sehingga seni Tembang Sunda Cianjuran bisa terus eksis dimasyarakat dengan sajian lebih menarik tanpa kehilangan unsur-unsur ketradisiannya.

15 May, 2009

Bentuk dan Makna Simbol Pada Musik dan Tari Tarawangsa


Bentuk dan Makna Simbol Pada Musik Tarawangsa

Sebelum membahas tentang bentuk simbol dan maknanya, akan kita bahas terlebih dahulu tentang musik, dalam hal ini musik tarawangsa dan fungsinya. Musik, sebagaimana agama, semua kesenian, dan cinta adalah bahasa dan hal yang paling universal yang dapat menjangkau kehidupan manusia.

Ritual keagamaan atau tradisi sejak zaman paling pra sejarah sekalipun sudah mengenal musik. Musik sedari dahulu digunakan untuk tujuan dan alat menuju hal-hal tertentu yang berkaitan dengan alam, roh-roh para leluhur, dan Sang Pencipta dengan tujuan untuk meminta keselamatan, meminta berkah, tolak bala, meminta turun hujan, dan hal-hal yang bersifat mistis lainnya. Jika kita lihat ada beberapa peranan musik tarawangsa, yaitu :


a. Sarana upacara budaya (ritual)

Indonesia memiliki bermacam-macam budaya, dan memiliki tradisi yang berbeda-beda pula. Pada saat mereka melakukan upacara budaya, beberapa di antara mereka menggunakan musik sebagai pengiring jalannya upacara tersebut. Seni tarawangsa termasuk dalam sebuah sarana upacara ritual yang erat hubungannya dengan mitos Dewi Sri dan bertujuan sebagai rasa ungkapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas panen yang telah mereka dapatkan.

b. Sarana hiburan

Dalam hal ini, musik tarawangsa juga merupakan salah satu cara untuk menghilangkan kejenuhan akibat rutinitas harian, serta sebagai sarana rekreasi dan ajang pertemuan dengan warga lainnya. Umumnya masyarakat Indonesia sangat antusias dalam menonton pagelaran musik. Jika ada pertunjukan musik di daerah mereka, mereka akan berbondong- bondong mendatangi tempat pertunjukan untuk menonton bahkan ikut serta dalam upacara tersebut. Dalam hubungannya dengan fungsi seni tarawangsa sebagai sarana hiburan dapat kita lihat pada penggunaan seni tarawangsa sebagai seni pertunjukan untuk penyambutan tamu terhormat atau pada acara khitanan.

c. Sarana ekspresi diri

Bagi para seniman seni tarawangsa (baik pencipta lagu maupun pemain musik), musik adalah media untuk mengekspresikan diri mereka. Melalui musik, mereka mengaktualisasikan potensi dirinya. Melalui musik pula, mereka mengungkapkan perasaan, pikiran, gagasan, dan cita-cita tentang diri, masyarakat, Tuhan, dan alam sekitar.

d. Sarana komunikasi

Di beberapa tempat di Indonesia, bunyi- bunyi tertentu yang memiliki arti tertentu bagi anggota kelompok masyarakatnya. Umumnya, bunyi- bunyian itu memiliki pola ritme tertentu, dan menjadi tanda bagi anggota masyarakatnya atas suatu peristiwa atau kegiatan. Seni tarawangsa dapat dikatakan sebagai sarana komunikasi antara leluhur mereeka dengan generasi penerusnya.

e. Pengiring tarian

Di berbagai daerah di Indonesia, bunyi- bunyian atau musik diciptakan oleh masyarakat untuk mengiringi tarian-tarian daerah. Oleh sebab itu, kebanyakan tarian daerah termasuk tarian tarawangsa di Indonesia hanya bisa diiringi oleh musik daerahnya sendiri. Selain musik daerah, musik-musik pop dan dangdut juga dipakai untuk mengiringi tarian- tarian modern, seperti dansa, poco- poco, dan sebagainya.

f. Sarana ekonomi

Bagi para musisi dan artis profesional, musik tidak hanya sekadar berfungsi sebagai media ekspresi dan aktualisasi diri atau sebagai sarana ritual saja. Musik juga merupakan sumber penghasilan. Mereka merekam hasil karya mereka dalam bentuk pita kaset dan cakram padat (Compact Disk/CD) serta menjualnya ke pasaran. Dari hasil penjualannya ini mereka mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Selain dalam media kaset dan CD. Para musisi juga melakukan pertunjukan yang dipungut biaya. Pertunjukan tidak hanya dilakukan di suatu tempat, tetapi juga bisa dilakukan di daerah- daerah lain di Indonesia ataupun di luar Indonesia.

Musik dapat berkembang menjadi suatu aliran ideologi yang mengakar dalam diri seseorang atau bahkan komunitas, maka ia akan mempunyai konsekuensi dalam nilai-nilai atau norma-norma yang ada dalam lingkungan sosialnya, baik lingkungan sosial yang terkecil atau bahkan sampai meluas menembus batas-batas wilayah tertentu. Dalam rangkaian kehidupan manusia, musik, syair, pantun, tari-tarian dan sebagainya memiliki peranan tersendiri dalam perjalanan sejarah kehidupan. Mungkin awalnya pada zaman terdahulu, hal tersebut adalah suatu nilai cipta atau simbol-simbol pengagungan terhadap sesuatu yang dianggap mulia atau memberikan nilai-nilai yang baik dalam menjaga keharmonisan hubungannya dengan sesuatu yang di anggap mulia tersebut. Misalnya saja pada zaman terdahulu manusia dalam golongan, orang-orang tertentu maupun individu melakukan hal tersebut guna melestarikan budaya sosial, adat, religi ataupun mistisismenya, baik dalam bentuk doa-doa, tarian-tarian, syair-syair, mantra-mantra maupun menggunakan instrumen yang dapat menimbulkan bunyi-bunyian.

Lagu-lagu pada seni tarawangsa terbagi menjadi dua kelompok, yaitu ;


1. Lagu pokok yang terdiri dari lagu pangemat, pangapungan, pamapag, panganginan, panimang, lalayaran, dan bangbalikan.

2. Lagu pilihan yang terdiri dari lagu mataraman, saur, iring-iringan, jemplang, bangun, karatonan, buncis, angin-angin, reundeu, ayun ambing, reundah reundang, kembang gadung, dan panglima.


Bentuk dan makna simbol pada lagu-lagu pokok tarawangsa (dilihat dari judul-judul lagu) adalah sebagai berikut:

a. Pangemat, berasal dari kata ngemat yang artinya memanggil, dalam hal ini yaitu menggambarkan pemanggilan Dewi Sri untuk datang ke tempat upacara berlangsung.

b. Panimang, berasal dari kata nimang yang artinya mengayun-ayun hal tersebut melukiskan Dewi Sri sedang ditimang-timang.

c. Pamapag, berasal dari kata papag yang berarti jemput, hal tersebut menggambarkan penjemputan datangnya Dewi Sri.

d. Pangapungan, berasal dari kata ngapung yang berarti terbang, hal ini menggambarkan Dewi Sri sedang terbang.

e. Panganginan, berasal dari kata ngangin yang berarti istirahat, yang menggambarkan jika Dewi Sri sedang beristirahat.

f. Lalayaran, berasal dari kata lalayar yang artinya tamasya yang menggambarkan Dewi Sri sedang bertamasya.

g. Bangbalikan, berasal dari kata balik yang berarti pulang hal tersebut menggambarkan proses mengantarkan pulangnya Dewi Sri ke dalam ruangan penyimpanan.


Urutan upacara berdasarkan iringan lagu :

Setelah alat-alat persiapan dan sesajen tersedia, maka upacara pun dimulai dari jam 19.30 wib (setelah shalat Isya). Sesepuh duduk bersila menghadapi parupuyan dan alat-alat perlengkapan sambil membagikan-bagikan kemenyan kepada sesepuh lainnya agar dimantrai. Kemudian kemenyan-kemenyan tersebut dipungut kembali, lalu dibakarnya disertai mantra-mantra dengan maksud bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan Rasul-Nya. Demikian pula kepada para leluhurnya.

Di bawah ini adalah urutan penyajian lagu tarawangsa dalam mengiringi upacara:

1. Upacara diawali dengan penyajian lagu pangemat, sebagai lagu pengundang Dewi Sri agar segera datang di tempat tersebut.

2. Disusul oleh lagu panimang untuk mengiringi acara ngalungsurkeun yaitu menurunkan seikat padi sebagai lambang Dewi Sri.

3. Lagu pamapag digunakan saat prosesi penjemputan Dewi Sri oleh sesepuh sambil membawa pakaian dan aksesoris lainnya yang akan dikenakan kepada padi tersebut.

4. Dibelakangnya diikuti oleh ibu-ibu yang membawa bunga-bungaan, minyak kelapa, daun hanjuang dan mangkuk berisi beras dengan tektek[1] di atasnya yang diiringi lagu pangapungan.

5. Sesudah itu padi disawer[2] yang diiringi lagu panganginan.

6. Upacara kemudian dilanjutkan dengan acara bersukaria yaitu menari bersama yang pimpin oleh seorang saehu berpakaian lengkap (jas hitam, berkain batik, iket), di pinggangnya terlihat sebilah keris yang dililiti dengan karembong atau sampur[3]. Diikuti oleh penari pria yang disusul oleh penari wanita yang berpakaian kebaya dalam lagu lalayaran.

7. Lagu bangbalikan mengiringi prosesi terakhir yaitu nginebkeun atau netepkeun yaitu menyimpan padi yang dihias tadi ke dalam ruangan penyimpanan. Ini menggambarkan bahwa Dewi Sri akan menetap di sana.

Musik tarawangsa dimainkan secara instrumental dalam tangga nada atau laras pelog dan salendro. Dalam penyajiannya, alat musik tarawangsa berfungsi sebagai pembawa lagu atau melodi, sedangkan alat musik kacapi berfungsi sebagai pengiring lagu.


Bentuk Simbol Pada Tarian


Tarian pada seni tarawangsa bersifat ritual yang lebih mementingkan tujuan daripada bentuk penyajiannya. Kegunaan praktis dalam tari yang dipercaya oleh masyarakat yang hidupnya masih dipengaruhi tatanan agraris. Tarian pada seni ritual termasuk pada seni tarawangsa dipercaya dapat menghasilkan kekuatan magis yang diharapkan mampu mempengaruhi serta menghasilkan sesuatu yang diharapkan. Oleh karena itu tarian pada seni tarawangsa dapat dianalogikan sebagai berikut :

a. Tari-tari ritual diciptakan bukan untuk dinikmati keindahannya oleh manusia, akan tetapi memiliki tujuan yang lebih dalam. Tari-tari ritual lebih mementingkan tujuan daripada bentuk estetis. Bahkan kadang-kadang bentuk yang sederhana justru memiliki tujuan yang lebih dalam yang bersifat mistis.

b. Mereka masih percaya adanya roh-roh, baik yang jahat maupun yang baik yang berada di sekeliling mereka. Roh yang baik bisa dimintai pertolongan, sedangkan roh yang jahat dijaga jangan sampai mengganggu manusia.

c. Oleh karena itu untuk membedakan tari yang berfungsi ritual dengan fungsi tari lainnya bisa dicermati dengan memperhatikan ciri-cirinya yaitu:

1. Diselenggarakan pada tempat yang terpilih biasanya tempat yang dianggap sakral, seni tarawangsa pada upacara-upacara dalam ruang lingkup yang besar seperti ngalaksa atau rayagungan biasanya disajikan di sebuah balai di Desa Wisata yaitu di Desa Rancakalong Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang. Namun, untuk upacara-upacara yang erat hubungannya dengan acara selamatan atau syukuran, pemilihan tempat yang digunakan untuk penyajian seni tarawangsa tidak begitu rumit, asalkan bersih, luas, dan berada dalam sebuah ruangan (tidak di ruangan terbuka).

2. Diselenggarakan pada saat yang terpilih, sesuai dengan maksud dan tujuan ritual. Penyajian seni tarawangsa merupakan sebuah ritus yang menghubungkan kehidupan manusia dengan dunia atas. Aktivitas ritual yang sakral tersebut memiliki fungsi dalam kehidupan masyarakat. Seni tarawangsa dalam masyarakat memiliki fungsi sosial, yaitu untuk upacara sakral dan profan. Dalam upacara sakral, kesenian ini digunakan dalam upacara setelah panen padi (netepkeun ibu pare), ruatan, dan sebagainya. Sebagai sarana hiburan seni tarawangsa di gunakan dalam acara selamatan kelahiran bayi, khitanan, penyambutan tamu kehormatan, dan sebagainya.

3. Ditarikan oleh penari terpilih yang umumnya dianggap suci atau yang dalam keadaan 'tidak kotor'. Penari boleh siapa saja, akan tetapi para penari haruslah sudah dewasa dan untuk perempuan haruslah sedang tidak dalam keadaan haid.

4. Biasanya memerlukan seperangkat sesajen, yaitu; a) parupuyan, yakni perapian sebagai wadah pembakaran kemenyan. b) pangradinan, atau alat-alat kecantikan, berupa minyak kelapa, minyak wangi, sirih pinang, bunga-bunga, sisir, cermin, dan sebagainya. c) parawanten atau sesajian makanan diantaranya bakakak ayam, rujak buah, ubi-ubian, telur, beras, dan sebagainya. d) panyinglar berupa daun hanjuang, anak batang pisang, batang tebu, dan sebagainya.

5. Tidak adanya penonton, sebab penonton dan semua yang hadir dalam upacara itu dianggap sebagai bagian dari kelengkapan upacara.

Dalam pertunjukannya, seni tarawangsa biasanya melibatkan para penari yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Tarian tersebut dilakukan secara teratur, dimulai dari tarian yang dilakukan oleh saehu yang menarikan tari bedaya, lalu disusul oleh para penari perempuan. Tarian mereka berfungsi untuk ngalungsurkeun[4] Dewi Sri dan roh para leluhur.


Pola tarian yang dilakukan oleh para penari perempuan dominan melingkar, hal tersebut sebagai gambaran axismundi atau poros bumi sebagai pusat kekuatan (power sentral) untuk menghubungkan diri dengan dunia atas (Cahya Hedy, 1999).

Formasi melingkar dari tarian tarawangsa ini mengingatkan kita akan bumi yang mengelilingi matahari menuruti rute berbentuk lingkaran. Semua roda kendaraan berbentuk lingkaran. Siklus kehidupan pun dapat digambarkan sebagai lingkaran, karena setelah titik akhir akan kembali ke titik awal. Untuk gambaran axismundi atau poros bumi yang menghubungkan diri dengan dunia atas sebenarnya terletak pada posisi saehu perempuan yang menari di tengah lingkaran para penari perempuan lainnya. Karena poros atau pusat kekuatan dari sebuah lingkaran berada tepat di tengah lingkaran tersebut.

Siklus tersebut apabila dianalogikan sebagai berikut. Biji mangga berkembang menjadi pohon yang berbunga, berbuah yang mempunyai biji dan bijinya akan menjadi pohon mangga lagi, yang kembali akan berbunga, berbuah, berbiji dan seterusnya. Kupu-kupu bertelur, telurnya menjadi ulat, yang kemudian menjadi kepompong dan bermetamorphosa menjadi kupu-kupu yang akhirnya bertelur lagi. Sperma dan ovum bertemu menjadi bayi yang kemudian menjadi manusia dewasa. Manusia dewasa berhubungan dengan pasangannya, dimana sperma akan bertemu ovum dan menghasilkan bayi lagi. Sebuah siklus kehidupan dan evolusinya.

Setelah selesai, kemudian dilanjutkan oleh tarian para hadirin yang ada di sekitar tempat penyajian. Tarian pada seni tarawangsa tidak terikat oleh aturan-aturan pokok, kecuali gerakan-gerakan khusus yang dilakukan oleh saehu dengan tarian bedaya-nya dan formasi melingkar dari saehu perempuan dan para penari perempuan yang bertugas ngalungsurkeun tadi.


[1] Lipatan daun sirih.

[2] Ditaburi bunga dan beras.

[3] Selendang.

[4] menurunkan.