15 May, 2009

Bentuk dan Makna Simbol Pada Musik dan Tari Tarawangsa


Bentuk dan Makna Simbol Pada Musik Tarawangsa

Sebelum membahas tentang bentuk simbol dan maknanya, akan kita bahas terlebih dahulu tentang musik, dalam hal ini musik tarawangsa dan fungsinya. Musik, sebagaimana agama, semua kesenian, dan cinta adalah bahasa dan hal yang paling universal yang dapat menjangkau kehidupan manusia.

Ritual keagamaan atau tradisi sejak zaman paling pra sejarah sekalipun sudah mengenal musik. Musik sedari dahulu digunakan untuk tujuan dan alat menuju hal-hal tertentu yang berkaitan dengan alam, roh-roh para leluhur, dan Sang Pencipta dengan tujuan untuk meminta keselamatan, meminta berkah, tolak bala, meminta turun hujan, dan hal-hal yang bersifat mistis lainnya. Jika kita lihat ada beberapa peranan musik tarawangsa, yaitu :


a. Sarana upacara budaya (ritual)

Indonesia memiliki bermacam-macam budaya, dan memiliki tradisi yang berbeda-beda pula. Pada saat mereka melakukan upacara budaya, beberapa di antara mereka menggunakan musik sebagai pengiring jalannya upacara tersebut. Seni tarawangsa termasuk dalam sebuah sarana upacara ritual yang erat hubungannya dengan mitos Dewi Sri dan bertujuan sebagai rasa ungkapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas panen yang telah mereka dapatkan.

b. Sarana hiburan

Dalam hal ini, musik tarawangsa juga merupakan salah satu cara untuk menghilangkan kejenuhan akibat rutinitas harian, serta sebagai sarana rekreasi dan ajang pertemuan dengan warga lainnya. Umumnya masyarakat Indonesia sangat antusias dalam menonton pagelaran musik. Jika ada pertunjukan musik di daerah mereka, mereka akan berbondong- bondong mendatangi tempat pertunjukan untuk menonton bahkan ikut serta dalam upacara tersebut. Dalam hubungannya dengan fungsi seni tarawangsa sebagai sarana hiburan dapat kita lihat pada penggunaan seni tarawangsa sebagai seni pertunjukan untuk penyambutan tamu terhormat atau pada acara khitanan.

c. Sarana ekspresi diri

Bagi para seniman seni tarawangsa (baik pencipta lagu maupun pemain musik), musik adalah media untuk mengekspresikan diri mereka. Melalui musik, mereka mengaktualisasikan potensi dirinya. Melalui musik pula, mereka mengungkapkan perasaan, pikiran, gagasan, dan cita-cita tentang diri, masyarakat, Tuhan, dan alam sekitar.

d. Sarana komunikasi

Di beberapa tempat di Indonesia, bunyi- bunyi tertentu yang memiliki arti tertentu bagi anggota kelompok masyarakatnya. Umumnya, bunyi- bunyian itu memiliki pola ritme tertentu, dan menjadi tanda bagi anggota masyarakatnya atas suatu peristiwa atau kegiatan. Seni tarawangsa dapat dikatakan sebagai sarana komunikasi antara leluhur mereeka dengan generasi penerusnya.

e. Pengiring tarian

Di berbagai daerah di Indonesia, bunyi- bunyian atau musik diciptakan oleh masyarakat untuk mengiringi tarian-tarian daerah. Oleh sebab itu, kebanyakan tarian daerah termasuk tarian tarawangsa di Indonesia hanya bisa diiringi oleh musik daerahnya sendiri. Selain musik daerah, musik-musik pop dan dangdut juga dipakai untuk mengiringi tarian- tarian modern, seperti dansa, poco- poco, dan sebagainya.

f. Sarana ekonomi

Bagi para musisi dan artis profesional, musik tidak hanya sekadar berfungsi sebagai media ekspresi dan aktualisasi diri atau sebagai sarana ritual saja. Musik juga merupakan sumber penghasilan. Mereka merekam hasil karya mereka dalam bentuk pita kaset dan cakram padat (Compact Disk/CD) serta menjualnya ke pasaran. Dari hasil penjualannya ini mereka mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Selain dalam media kaset dan CD. Para musisi juga melakukan pertunjukan yang dipungut biaya. Pertunjukan tidak hanya dilakukan di suatu tempat, tetapi juga bisa dilakukan di daerah- daerah lain di Indonesia ataupun di luar Indonesia.

Musik dapat berkembang menjadi suatu aliran ideologi yang mengakar dalam diri seseorang atau bahkan komunitas, maka ia akan mempunyai konsekuensi dalam nilai-nilai atau norma-norma yang ada dalam lingkungan sosialnya, baik lingkungan sosial yang terkecil atau bahkan sampai meluas menembus batas-batas wilayah tertentu. Dalam rangkaian kehidupan manusia, musik, syair, pantun, tari-tarian dan sebagainya memiliki peranan tersendiri dalam perjalanan sejarah kehidupan. Mungkin awalnya pada zaman terdahulu, hal tersebut adalah suatu nilai cipta atau simbol-simbol pengagungan terhadap sesuatu yang dianggap mulia atau memberikan nilai-nilai yang baik dalam menjaga keharmonisan hubungannya dengan sesuatu yang di anggap mulia tersebut. Misalnya saja pada zaman terdahulu manusia dalam golongan, orang-orang tertentu maupun individu melakukan hal tersebut guna melestarikan budaya sosial, adat, religi ataupun mistisismenya, baik dalam bentuk doa-doa, tarian-tarian, syair-syair, mantra-mantra maupun menggunakan instrumen yang dapat menimbulkan bunyi-bunyian.

Lagu-lagu pada seni tarawangsa terbagi menjadi dua kelompok, yaitu ;


1. Lagu pokok yang terdiri dari lagu pangemat, pangapungan, pamapag, panganginan, panimang, lalayaran, dan bangbalikan.

2. Lagu pilihan yang terdiri dari lagu mataraman, saur, iring-iringan, jemplang, bangun, karatonan, buncis, angin-angin, reundeu, ayun ambing, reundah reundang, kembang gadung, dan panglima.


Bentuk dan makna simbol pada lagu-lagu pokok tarawangsa (dilihat dari judul-judul lagu) adalah sebagai berikut:

a. Pangemat, berasal dari kata ngemat yang artinya memanggil, dalam hal ini yaitu menggambarkan pemanggilan Dewi Sri untuk datang ke tempat upacara berlangsung.

b. Panimang, berasal dari kata nimang yang artinya mengayun-ayun hal tersebut melukiskan Dewi Sri sedang ditimang-timang.

c. Pamapag, berasal dari kata papag yang berarti jemput, hal tersebut menggambarkan penjemputan datangnya Dewi Sri.

d. Pangapungan, berasal dari kata ngapung yang berarti terbang, hal ini menggambarkan Dewi Sri sedang terbang.

e. Panganginan, berasal dari kata ngangin yang berarti istirahat, yang menggambarkan jika Dewi Sri sedang beristirahat.

f. Lalayaran, berasal dari kata lalayar yang artinya tamasya yang menggambarkan Dewi Sri sedang bertamasya.

g. Bangbalikan, berasal dari kata balik yang berarti pulang hal tersebut menggambarkan proses mengantarkan pulangnya Dewi Sri ke dalam ruangan penyimpanan.


Urutan upacara berdasarkan iringan lagu :

Setelah alat-alat persiapan dan sesajen tersedia, maka upacara pun dimulai dari jam 19.30 wib (setelah shalat Isya). Sesepuh duduk bersila menghadapi parupuyan dan alat-alat perlengkapan sambil membagikan-bagikan kemenyan kepada sesepuh lainnya agar dimantrai. Kemudian kemenyan-kemenyan tersebut dipungut kembali, lalu dibakarnya disertai mantra-mantra dengan maksud bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan Rasul-Nya. Demikian pula kepada para leluhurnya.

Di bawah ini adalah urutan penyajian lagu tarawangsa dalam mengiringi upacara:

1. Upacara diawali dengan penyajian lagu pangemat, sebagai lagu pengundang Dewi Sri agar segera datang di tempat tersebut.

2. Disusul oleh lagu panimang untuk mengiringi acara ngalungsurkeun yaitu menurunkan seikat padi sebagai lambang Dewi Sri.

3. Lagu pamapag digunakan saat prosesi penjemputan Dewi Sri oleh sesepuh sambil membawa pakaian dan aksesoris lainnya yang akan dikenakan kepada padi tersebut.

4. Dibelakangnya diikuti oleh ibu-ibu yang membawa bunga-bungaan, minyak kelapa, daun hanjuang dan mangkuk berisi beras dengan tektek[1] di atasnya yang diiringi lagu pangapungan.

5. Sesudah itu padi disawer[2] yang diiringi lagu panganginan.

6. Upacara kemudian dilanjutkan dengan acara bersukaria yaitu menari bersama yang pimpin oleh seorang saehu berpakaian lengkap (jas hitam, berkain batik, iket), di pinggangnya terlihat sebilah keris yang dililiti dengan karembong atau sampur[3]. Diikuti oleh penari pria yang disusul oleh penari wanita yang berpakaian kebaya dalam lagu lalayaran.

7. Lagu bangbalikan mengiringi prosesi terakhir yaitu nginebkeun atau netepkeun yaitu menyimpan padi yang dihias tadi ke dalam ruangan penyimpanan. Ini menggambarkan bahwa Dewi Sri akan menetap di sana.

Musik tarawangsa dimainkan secara instrumental dalam tangga nada atau laras pelog dan salendro. Dalam penyajiannya, alat musik tarawangsa berfungsi sebagai pembawa lagu atau melodi, sedangkan alat musik kacapi berfungsi sebagai pengiring lagu.


Bentuk Simbol Pada Tarian


Tarian pada seni tarawangsa bersifat ritual yang lebih mementingkan tujuan daripada bentuk penyajiannya. Kegunaan praktis dalam tari yang dipercaya oleh masyarakat yang hidupnya masih dipengaruhi tatanan agraris. Tarian pada seni ritual termasuk pada seni tarawangsa dipercaya dapat menghasilkan kekuatan magis yang diharapkan mampu mempengaruhi serta menghasilkan sesuatu yang diharapkan. Oleh karena itu tarian pada seni tarawangsa dapat dianalogikan sebagai berikut :

a. Tari-tari ritual diciptakan bukan untuk dinikmati keindahannya oleh manusia, akan tetapi memiliki tujuan yang lebih dalam. Tari-tari ritual lebih mementingkan tujuan daripada bentuk estetis. Bahkan kadang-kadang bentuk yang sederhana justru memiliki tujuan yang lebih dalam yang bersifat mistis.

b. Mereka masih percaya adanya roh-roh, baik yang jahat maupun yang baik yang berada di sekeliling mereka. Roh yang baik bisa dimintai pertolongan, sedangkan roh yang jahat dijaga jangan sampai mengganggu manusia.

c. Oleh karena itu untuk membedakan tari yang berfungsi ritual dengan fungsi tari lainnya bisa dicermati dengan memperhatikan ciri-cirinya yaitu:

1. Diselenggarakan pada tempat yang terpilih biasanya tempat yang dianggap sakral, seni tarawangsa pada upacara-upacara dalam ruang lingkup yang besar seperti ngalaksa atau rayagungan biasanya disajikan di sebuah balai di Desa Wisata yaitu di Desa Rancakalong Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang. Namun, untuk upacara-upacara yang erat hubungannya dengan acara selamatan atau syukuran, pemilihan tempat yang digunakan untuk penyajian seni tarawangsa tidak begitu rumit, asalkan bersih, luas, dan berada dalam sebuah ruangan (tidak di ruangan terbuka).

2. Diselenggarakan pada saat yang terpilih, sesuai dengan maksud dan tujuan ritual. Penyajian seni tarawangsa merupakan sebuah ritus yang menghubungkan kehidupan manusia dengan dunia atas. Aktivitas ritual yang sakral tersebut memiliki fungsi dalam kehidupan masyarakat. Seni tarawangsa dalam masyarakat memiliki fungsi sosial, yaitu untuk upacara sakral dan profan. Dalam upacara sakral, kesenian ini digunakan dalam upacara setelah panen padi (netepkeun ibu pare), ruatan, dan sebagainya. Sebagai sarana hiburan seni tarawangsa di gunakan dalam acara selamatan kelahiran bayi, khitanan, penyambutan tamu kehormatan, dan sebagainya.

3. Ditarikan oleh penari terpilih yang umumnya dianggap suci atau yang dalam keadaan 'tidak kotor'. Penari boleh siapa saja, akan tetapi para penari haruslah sudah dewasa dan untuk perempuan haruslah sedang tidak dalam keadaan haid.

4. Biasanya memerlukan seperangkat sesajen, yaitu; a) parupuyan, yakni perapian sebagai wadah pembakaran kemenyan. b) pangradinan, atau alat-alat kecantikan, berupa minyak kelapa, minyak wangi, sirih pinang, bunga-bunga, sisir, cermin, dan sebagainya. c) parawanten atau sesajian makanan diantaranya bakakak ayam, rujak buah, ubi-ubian, telur, beras, dan sebagainya. d) panyinglar berupa daun hanjuang, anak batang pisang, batang tebu, dan sebagainya.

5. Tidak adanya penonton, sebab penonton dan semua yang hadir dalam upacara itu dianggap sebagai bagian dari kelengkapan upacara.

Dalam pertunjukannya, seni tarawangsa biasanya melibatkan para penari yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Tarian tersebut dilakukan secara teratur, dimulai dari tarian yang dilakukan oleh saehu yang menarikan tari bedaya, lalu disusul oleh para penari perempuan. Tarian mereka berfungsi untuk ngalungsurkeun[4] Dewi Sri dan roh para leluhur.


Pola tarian yang dilakukan oleh para penari perempuan dominan melingkar, hal tersebut sebagai gambaran axismundi atau poros bumi sebagai pusat kekuatan (power sentral) untuk menghubungkan diri dengan dunia atas (Cahya Hedy, 1999).

Formasi melingkar dari tarian tarawangsa ini mengingatkan kita akan bumi yang mengelilingi matahari menuruti rute berbentuk lingkaran. Semua roda kendaraan berbentuk lingkaran. Siklus kehidupan pun dapat digambarkan sebagai lingkaran, karena setelah titik akhir akan kembali ke titik awal. Untuk gambaran axismundi atau poros bumi yang menghubungkan diri dengan dunia atas sebenarnya terletak pada posisi saehu perempuan yang menari di tengah lingkaran para penari perempuan lainnya. Karena poros atau pusat kekuatan dari sebuah lingkaran berada tepat di tengah lingkaran tersebut.

Siklus tersebut apabila dianalogikan sebagai berikut. Biji mangga berkembang menjadi pohon yang berbunga, berbuah yang mempunyai biji dan bijinya akan menjadi pohon mangga lagi, yang kembali akan berbunga, berbuah, berbiji dan seterusnya. Kupu-kupu bertelur, telurnya menjadi ulat, yang kemudian menjadi kepompong dan bermetamorphosa menjadi kupu-kupu yang akhirnya bertelur lagi. Sperma dan ovum bertemu menjadi bayi yang kemudian menjadi manusia dewasa. Manusia dewasa berhubungan dengan pasangannya, dimana sperma akan bertemu ovum dan menghasilkan bayi lagi. Sebuah siklus kehidupan dan evolusinya.

Setelah selesai, kemudian dilanjutkan oleh tarian para hadirin yang ada di sekitar tempat penyajian. Tarian pada seni tarawangsa tidak terikat oleh aturan-aturan pokok, kecuali gerakan-gerakan khusus yang dilakukan oleh saehu dengan tarian bedaya-nya dan formasi melingkar dari saehu perempuan dan para penari perempuan yang bertugas ngalungsurkeun tadi.


[1] Lipatan daun sirih.

[2] Ditaburi bunga dan beras.

[3] Selendang.

[4] menurunkan.

Simbol Pada Alat Musik Tarawangsa


Bentuk Simbol Pada Alat Musik

a. Tarawangsa

Istilah tarawangsa memiliki pengertian sebagai alat musik tradisional khas Sunda yang dimainkan dengan cara digesek, yang memiliki 2 (dua) dawai yang terbuat dari kawat baja atau besi. Namun yang digesek hanya satu dawai, sedangkan dawai yang satunya lagi dimainkan dengan cara dipetik menggunakan jari telunjuk tangan kiri. Istilah tarawangsa juga diartikan sebagai nama salah satu ensambel kecil yang terdiri dari sebuah alat gesek yang disebut tarawangsa dan sebuah alat petik tujuh dawai yang disebut kacapi (Ubun Kubarsah, 1995).

Selain pengertian tersebut di atas, berdasarkan wawancara dengan Pupung[1] “secara bahasa tarawangsa sering diartikan sebagai “menerawang pada Yang Esa”, pengertian tersebut diambil dari dua suku kata yaitu ‘tarawang’ yang diartikan menerawang dan ‘sa’ diartikan sebagai Yang Esa”. Dari pengertian tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa kesenian tarawangsa adalah sebagai bentuk kesenian yang digunakan sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat Kecamatan Rancakalong terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Menurut sistem pengklasifikasian alat musik dari Curt Sachs, tarawangsa diklasifikasikan sebagai chordophone, sub klasifikasi neck-lute. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat alat musik tarawangsa yaitu kayu dan kawat, kayu yang digunakan biasanya kayu adalah kayu kenanga (Cananga odorata), jengkol (Pithecollobium Jiringa), dadap (Erythrina), atau kemiri (Aleurites moluccana). Kayu berfungsi sebagai resonator dan kawat berfungsi sebagai sumber bunyi, dengan bantuan alat penggesek yang disebut pangeset yang terbuat dari kayu lame (Alstonia scolaris) dan tali penggeseknya terbuat dari bulu-bulu buntut kuda. Alat musik tarawangsa biasanya berwarna hitam, coklat, dan keputih-putihan atau warna asli kayu.

Alat musik tarawangsa mempunyai bentuk sederhana. Hiasannya tidak begitu menonjol, hiasan kecil hanya terdapat pada ujung atas tiang, biasanya berbentuk putik.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Iwan[2] di Rancakalong, secara keseluruhan, bentuk alat musik tarawangsa menggambarkan seorang perempuan yang cantik dan berbudi. Pencitraan perempuan sebagai simbol dari alat musik tarawangsa tersebut berhubungan dengan kehidupan masyarakat Rancakalong sebagai masyarakat agraris yang sangat menghormati sosok Dewi Sri yang merupakan sosok seorang perempuan.

Penggambaran sosok perempuan pada alat musik tarawangsa dapat kita lihat dari penamaan bagian-bagian rancang bangun dari tarawangsa.


Rancang bangun alat musik tarawangsa terdiri atas ;

a. Parungpung, yaitu wadah gema (resonator) yang terdiri atas raray, bobokong, udel.

b. Tihang, yaitu tiang yang berfungsi sebagai badan dari tarawangsa.

c. Pureut, yaitu pemutar yang befungsi untuk mengatur ketegangan kawat (menyetem).

d. Inang, (berbentuk piramid) yang digunakan untuk menegangkan kawat (menyetem) dengan cara digeser-geser.

e. Suku, yaitu kaki, berfungsi sebagai penyangga badan tarawangsa.

Selain pada segi bentuk dan nama bagian-bagian rancang bangun tarawangsa, bentuk simbolis lainnya dapat kita lihat pada jumlah kawat (dawai) yang digunakan pada tarawangsa. Kawat tersebut berjumlah 2 (dua) utas, kawat sebelah kiri bernada 1 (da) sedangkan kawat sebelah kanan bernada 5 (la). Jumlah kawat pada alat musik tarawangsa tersebut menggambarkan keyakinan akan konsep dualisme, yaitu faham yang memandang bahwa alam ini terdiri atas dua macam hakekat yang berpasangan. Contoh; malam-siang, pria-wanita, baik-buruk, hidup-mati, bagus-jelek, dan lain sebagainya.

b. Kacapi

Kacapi adalah sebuah alat musik khas daerah Rancakalong yang menyerupai kecapi dengan 7 (tujuh) dawai yang dimainkan dengan cara dipetik. Alat musik ini terbuat dari bahan kayu, kawat, dan paku-paku. Kayu berfungsi sebagai resonator, sedangkan kawat berfungsi sebagai sumber bunyi. Berdasarkan sistem pengklasifikasian alat musik dari Curt Sachs, kacapi masuk dalam klasifikasi chordophone.

Bentuk anatomi kacapi dilambangkan sebagai perwujudan bumi atau tanah yang subur. Sedangkan jumlah 7 (tujuh) dawai merupakan simbol dari jumlah hari dalam satu minggu yang mengatur kehidupan manusia.


c. Pangeset

Pangeset adalah alat yang digesekan pada dawai tarawangsa, alat ini berfungsi untuk menghasilkan bunyi. Pangeset tarawangsa ini biasanya terbuat dari bahan kayu lame dan tali penggeseknya terbuat dari bulu ekor kuda atau dari senar nilon.




[1] Pemain alat musik tarawangsa Lingkung Seni Ormatan “Pusaka Jati Rahayu ” Desa Rancakalong Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang.

[2] Pemain alat musik tarawangsa Lingkung Seni Ormatan “Pusaka Wargi” Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang.