26 March, 2009

Seni Tarawangsa



Seni tarawangsa merupakan salah satu jenis seni tradisi yang hidup dan berkembang di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang Jawa Barat. Saat ini keberadaannya masih dapat kita saksikan secara langsung karena kesenian tersebut ternyata masih digunakan oleh masyarakat di sana.

Istilah tarawangsa memiliki dua pengertian: (1) alat musik gesek yang memiliki dua dawai yang terbuat dari kawat baja atau besi dan (2) nama dari salah satu jenis musik tradisional Sunda. Sebagai alat musik gesek, tarawangsa tentu saja dimainkan dengan cara digesek. Akan tetapi yang digesek hanya satu dawai, yakni dawai yang paling dekat kepada pemain (dawai yang dipasang di tengah tiang tarawangsa); sementara dawai yang satunya lagi dimainkan dengan cara dipetik dengan jari telunjuk tangan kiri. Kemudian, sebagai nama salah satu jenis musik, tarawangsa merupakan sebuah ensambel kecil yang terdiri dari sebuah tarawangsa dan sebuah alat petik tujuh dawai yang menyerupai kecapi, yang disebut kacapi.

Pemain seni tarawangsa hanya terdiri dari dua orang, yaitu satu orang pemain tarawangsa dan satu orang pemain kacapi. Pemain tarawangsa terdiri dari laki-laki, biasanya bekerja sebagai petani, dengan usia rata-rata 30 – 60 tahun. Dalam pertunjukannya ini biasanya dilibatkan para penari yang terdiri dari laki-laki dan perempuan dewasa.

Seni tarawangsa biasanya disajikan pada saat upacara-upacara ritual yang berkaitan dengan mitos Dewi Padi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Dewi Sri. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar penduduk Rancakalong mengandalkan hidup dari bersawah dan bercocok tanam. Dalam hal ini, seni tarawangsa merupakan sebuah bentuk ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen yang telah mereka dapatkan, juga sebagai media penghormatan terhadap Dewi Sri yang bertujuan untuk menyampaikan rasa terima kasih atas pertolongannya yang telah bersedia menghidupkan dan menyuburkan tanaman padi. Namun, dalam perkembangan selanjutnya selain disajikan pada upacara penghormatan terhadap Dewi Sri, tarawangsa disajikan pula pada acara-acara atau hal lain yang erat hubungannya dengan aspek-aspek kehidupan masyarakat setempat, terutama yang berkaitan dengan acara selamatan atau syukuran, bahkan ada yang menggunakannya sebagai media untuk menyembuhkan orang sakit.


Asal-usul Seni Tarawangsa


Asal-usul seni tarawangsa sebenarnya masih belum dapat dipastikan secara tepat. Hal tersebut mungkin dikarenakan kurangnya minat menulis pada masyarakat Sunda pada saat itu. Seperti halnya asal-usul tentang seni tradisi lainnya, khususnya yang ada di Jawa Barat, kesejarahan seni tarawangsa ternyata didapatkan berdasarkan cerita-cerita yang secara turun temurun diwariskan pada tiap generasi masyarakat di Rancakalong.

Sebenarnya untuk mengungkap informasi tentang asal-usul lahirnya seni tarawangsa dapat didekati melalui pendekatan sejarah. Salah satu sumber sejarah yang tergolong tua di Jawa Barat adalah naskah Sanghyang Siksakandang Karesian dan naskah Swaka Darma. Cahya Hedy dalam bukunya Tarawangsa dan Mitos Dewi Sri mengemukakan bahwa keberadaan tarawangsa sudah dikenal sejak abad ke-15 dalam naskah Swaka Darma ( kropak 408 ) yang diteliti oleh Saleh Danasasmita, dkk, yang berbunyi:

Na(ng)gapan

Sada canang

Sada gangsa tempang Kembar

Sada titila ri(ng) bumi

Sada tatabuh Jawa

Sada gabeng di reka cali(n)tuh di a(n)jing

Sada hanjaru kacapa la(ng)nga

Sada kerak e sagung

Artinya ;

Suara canang

Suara gamelan tupang kembang

Suara kembang dan tarawangsa menyayat

Suara peninggalan bumi

Suara gamelan jawa

Suara baling-baling ditingkahi calintah di dangau

Suara deru kacapi penuh khawatir

Suara sedih semua

Risalah tentang asal usul dari seni tarawangsa yang menyebar di masyarakat Kecamatan Rancakalong sebenarnya cukup banyak. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya tambahan dan variasi keterangan yang diberikan oleh tokoh yang satu dengan tokoh lainnya yang sedikit berbeda, keterangan atau cerita tersebut telah mereka dapatkan secara turun temurun dari generasi mereka sebelumnya. Walaupun mungkin cerita tersebut telah mempunyai banyak versi, namun inti dari cerita tersebut tetap mempunyai kesamaan yaitu seni tarawangsa merupakan sebuah wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa akan hasil panen yang mereka dapatkan. Adapun salah satu cerita mengenai asal usul seni tarawangsa yang penulis dapatkan dari hasil wawancara dengan salah seorang tokoh seniman seni tarawangsa di desa Rancakalong yang bernama Bapak Dia[1] adalah sebagai berikut.

“Dahulu, Rancakalong termasuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram. Suatu ketika kehidupan masyarakat di Rancakalong tengah mengalami bencana, yaitu bencana kelaparan. Hal tersebut dikarenakan tanaman padi yang mereka tanam selalu mengalami gagal panen karena selalu diserang oleh hama. Penduduk Rancakalong saat itu banyak yang meninggal karena bencana kelaparan itu. Sehubungan dengan bencana itu, seorang tokoh masyarakat dari Rancakalong berpendapat bahwa musibah tersebut muncul karena masyarakat Rancakalong tidak mempunyai benih padi yang tahan hama.

Kemudian diutuslah tujuh orang penduduk Rancakalong untuk pergi ke Keraton Kerajaan Mataram dengan maksud meminta benih padi yang tahan hama serta meminta petunjuk tentang bagaimana cara menanam dan memeliharanya. Ketujuh orang utusan tersebut pergi dalam waktu yang cukup lama. Setelah berhasil mendapatkan benih padi, utusan-utusan pun kembali pulang ke Rancakalong dengan didampingi oleh seorang utusan dari Kerajaan Mataram yang ahli dalam bidang pertanian yaitu Eyang Wisanagara yang bertujuan untuk memberikan petunjuk kepada masyarakat Rancakalong tentang bagaimana cara menanam dan memelihara tanaman padi sehingga hasilnya menjadi lebih baik. Karena perjalanan yang mereka tempuh sangatlah jauh dan memakan waktu yang lama, serta melewati daerah-daerah yang mereka anggap kurang aman. Mereka pun berinisiatif untuk membawa benih padi tersebut dengan cara memasukkannya ke dalam alat musik, yaitu tarawangsa dan kacapi. Dalam perjalanannya pun mereka bertindak seolah-olah sedang mengamen. Dengan menggunakan cara tersebut para utusan dapat berhasil membawa benih padi ke daerah Rancakalong dengan selamat”.

Berdasarkan hal di atas, masyarakat Rancakalong kemudian melakukan upacara berupa iring-iringan dan memainkan alat musik dalam setiap upacara ritual setelah panen padi. Hal tersebut mereka anggap sebagai bentuk rasa syukur masyarakat desa kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen yang berlimpah serta sebagai cara untuk mengingat atau mengenang jasa-jasa para leluhur yang telah berhasil membawa benih padi dari kerajaan Mataram ke Rancakalong.

Hingga saat ini pun masyarakat Rancakalong selalu menyajikan seni tarawangsa pada setiap upacara-upacara tradisinya, terutama upacara yang berkaitan dengan mitos Dewi Sri. Hal tersebut juga dilakukan karena adanya anggapan dan rasa kekhawatiran dari masyarakat Rancakalong, yaitu jika upacara tersebut tidak dilakukan maka akan terjadi bencana pada daerah mereka yang dapat berupa kegagalan dalam panen, kesusahan, padi akan cepat habis, wabah penyakit, kekurangmanfaatan hasil panen, hingga berujung pada kematian.



[1] Pimpinan Lingkung Seni Ormatan “Pusaka Jati Rahayu” Desa Rancakalong Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang.

No comments:

Post a Comment