24 March, 2009

Manusia, Seni, dan Simbol


Manusia tidak pernah lepas dari aktivitas budaya. Begitu eratnya hubungan antara manusia dengan kebudayaannya, Ki Hajar Dewantara menyebutkan bahwa manusia sebagai makhluk budaya (Budiono Herusatoto, 2000:8). Salah satu produk budaya manusia di antaranya adalah masalah simbol. Dengan peran simbol pula budaya dapat berkembang. Manusia dalam kehidupannya dituntut untuk mampu memahami simbol sebagai jembatan baginya agar bisa lebih tanggap terhadap segala sesuatu yang dihadapi. Oleh sebab itu maka dalam rangka pengembangan budaya, fungsi simbol sangatlah penting.

Demikian pula sebagai makhluk budaya, kehidupan manusia sangat erat hubungannya dengan penggunaan simbol-simbol. Manusia berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis. Hal tersebut merupakan salah satu ciri khas dari manusia yang membedakannya dengan hewan, oleh karena itu Ernst Cassirer cenderung menyebut “manusia sebagai hewan yang bersimbol (animal symbolicum)”. Disamping itu, manusia adalah homo estheticus, disadari atau tidak setiap manusia memiliki rasa indah, dan manusia selalu bermain dengan simbol yang sesuai dengan pengalaman keindahannya (Ernst Cassirer, 1990:10).

Secara etimologi kata simbol berasal dari bahasa Yunani, Symbolos, yang berarti tanda untuk mengartikan sesuatu (Arifni Netrirosa, 2003:3). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Lukman Ali mengartikan simbol sebagai lambang. Bentuk-bentuk simbol menurut I Kuntara Wiryamartana[1] seperti dikutip oleh Budiono Herusatoto, “dapat berupa bahasa, gerak tubuh, suara atau bunyi, warna, dan rupa” (2000:7-10).

Seni, yang terdiri atas beberapa jenis, yaitu seni rupa, seni sastra, seni musik, seni tari, dan seni drama merupakan salah satu wujud rasa budaya manusia yang dalam pengungkapannya penuh dengan tindakan-tindakan simbolis. Keeratan hubungan antara kesenian dengan penggunaan simbol-simbol dapat kita lihat pada salah satu seni tradisional khas Sunda yaitu pada seni tarawangsa di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang Jawa Barat.

Tarawangsa adalah salah satu jenis seni tradisi yang hidup dan berkembang di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang. Kesenian tersebut merupakan salah satu produk budaya yang masih bisa bertahan hingga saat ini dan masih bisa disaksikan kesenian ini secara langsung karena kesenian tarawangsa ternyata masih digunakan oleh masyarakat pendukungnya sebagai media ritual.

Istilah tarawangsa seperti yang dikemukakan oleh Ubun Kubarsah dalam bukunya Waditra: Mengenal Alat-Alat Kesenian Jawa Barat, memiliki dua pengertian, yaitu :

1. Sebagai alat musik tradisional khas Sunda yang dimainkan dengan cara digesek, yang memiliki dua dawai yang terbuat dari kawat baja atau besi. Namun yang digesek hanya satu dawai, sedangkan dawai yang satunya lagi dimainkan dengan cara dipetik menggunakan jari telunjuk tangan kiri.

2. Sebagai nama salah satu ensambel kecil yang terdiri dari sebuah alat gesek yang disebut Tarawangsa dan sebuah alat petik tujuh dawai yang disebut Kacapi (Ubun Kubarsah, 1995).

Seni tarawangsa biasanya disajikan pada rangkaian upacara ritual yang berkaitan dengan padi, terutama dihubungkan dengan mitos Dewi Sri sebagai penjelmaan dari Dewi Padi. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar penduduk kecamatan tersebut mengandalkan hidup dari bersawah dan bercocok tanam.

Seni tarawangsa adalah kesenian yang disajikan sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas semua hasil panen yang telah mereka dapatkan dan sebagai bentuk ekspresi kegembiraan masyarakat Rancakalong atas hasil panen tersebut. Pada pelaksanaan upacara-upacara tradisional di Kecamatan Rancakalong, penyajian seni tarawangsa tersebut merupakan prosesi inti. Tarawangsa merupakan prosesi yang lebih bersifat batiniah[2], yang mengandung arti menerawang pada Yang Esa. Melalui tarawangsa, para penari menari hingga dalam kondisi hening dan terbawa ke alam transedental[3]. Asap kemenyan yang mengepul semakin tebal, seolah mengundang roh-roh gaib datang untuk menyatu dalam kekhidmatan mistis suara tarawangsa dan kacapi. Konon itulah yang disebut proses penyatuan antara dunia gaib dan batin manusia. Prosesi ini dilakukan pada malam hari, dan dipimpin oleh Saehu[4]. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang saehu ataupun paibuan yakni harus faham tata urutan dalam upacara, mendapat kepercayaan dari masyarakat sekitar, dan sering hadir dalam setiap penyajian seni tarawangsa.

Pada kesenian ini, adab dan tata cara prosesinya harus dimulai dengan persembahan sesajen dan minta ijin pada Tuhan Yang Maha Esa serta arwah para leluhur[5] daerah Rancakalong. Hal tersebut dilakukan agar pelaksanaan upacara bisa berjalan lancar. Alat musik tarawangsa dan kacapi tidak lupa harus diasapi di atas parupuyan[6] yang dipercaya bisa menambah daya dan kekuatan alat musik itu sendiri. Prosesi ini dimulai dengan tarian “mohon restu” atau tarian minta ijin kepada arwah para leluhur yang dilakukan oleh saehu laki-laki yang mengenakan kain batik, jas berwarna hitam, dan iket[7] serta selendang empat warna, yaitu warna putih, hijau, merah dan kuning. Kemudian dilanjutkan oleh tarian saehu perempuan yang diiringi oleh penari-penari perempuan lainnya. Tarian ini bertujuan untuk lulungsur atau ngalungsurkeun[8] Dewi Sri agar mau “hadir” pada upacara yang sedang dilakukan. Setelah saehu perempuan dan pengiringnya selesai melakukan tarian, prosesi dilanjutkan pada acara yang bersifat hiburan, pada prosesi ini tamu atau masyarakat lainnya dipersilahkan untuk menari. Tarian tidak terikat oleh aturan-aturan pokok, kecuali gerakan-gerakan yang dilakukan oleh para saehu tadi. Pada momen tertentu, para penari akan mengalami trance atau tidak sadarkan diri. Tarian ini dilakukan secara bergantian antara penari laki-laki dan penari perempuan hingga menjelang pagi hari.

Uraian di atas merupakan ringkasan bentuk penyajian seni tarawangsa yang biasa dilaksanakan di Kecamatan Rancakalong. Di dalamnya dapat dilihat banyak bentuk-bentuk simbol yang mengandung pesan moral dan religi yang diungkapkan oleh manusia melalui alam seninya tersebut. Bentuk-bentuk simbol tersebut di antaranya pada bagian-bagian rancang bangun alat musik tarawangsa dan kacapi, sesajen, gerakan-gerakan pada tarian, lagu-lagu yang dimainkan, dan benda-benda pelengkap upacara.

Bentuk-bentuk simbol tersebut sangatlah menarik untuk ditelaah maknanya mengingat perkembangan kebudayaan bangsa Indonesia yang sedang menuju ke arah masyarakat modern telah membawa perubahan pada kebudayaan kita yang bersifat simbolis itu. Kini, pandangan hidup dan sikap sebagian masyarakat mulai bergeser ke arah aspek yang cenderung dianggap lebih rasional. Masyarakat seakan kurang percaya lagi pada keluhuran makna yang tersembunyi dibalik simbol-simbol.

Banyak upacara serta kesenian tradisi kita telah kehilangan daya simboliknya dan menurun nilainya, karena hanya dianggap sebagai rangkaian acara yang bersifat hiburan semata, yang merupakan daftar kewajiban yang harus dilaksanakan begitu saja. Penghayatan makna simbolnya sudah dikesampingkan, sehingga upacara tradisional yang dulu dilaksanakan atas dasar batiniah, sekarang hanya dipandang sebagai media hiburan saja.

Salah satu hal yang menarik mengenai simbol-simbol yang terdapat pada seni tradisi, khususnya pada seni tarawangsa, adalah bahwa simbol-simbol tersebut mengandung makna-makna yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat pendukungnya.


[1] Seorang ahli filsafat dan sastra Jawa dari Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada.

[2] Berhubungan dengan rohani (roh/ jiwa).

[3] 1 menonjolkan hal-hal yang bersifat kerohanian; 2 sukar dipahami; 3 gaib; 4 abstrak (Kamus Besar Bahasa Indonesia)

[4] Orang yang memegang peranan penting pada sesi tarawangsa berlangsung yaitu ketika pergelaran berlangsung dari mulai ngalungsurkeun yang memiliki makna menurunkan keberkahan, sampai nginebkeun yang mempunyai makna menempatkan Dewi Sri pada tempatnya. Saehu terdiri dari dua orang saehu yaitu seorang saehu laki-laki dan seorang saehu perempuan atau yang disebut dengan istilah paibuan.

[5] Arwah orang-orang yang telah berjasa bagi desa Rancakalong.

[6] Wadah untuk pembakaran kemenyan.

[7] Ikat kepala khas masyarakat Sunda.

[8] Menurunkan.

1 comment: