Karawitan Sunda memiliki beberapa bentuk penyajian diantaranya; karawitan sekar, karawitan gending, karawitan campuran. Karawitan sekar ialah seni suara yang diungkapkan dengan suara mulut, karawitan gending ialah seni suara yang diungkapkan dengan memakai waditra, sedangkan karawitan campuran ialah seni suara campuran antara sekar dan gending (Soepandi, 1970:9). Salah satu contoh karawitan Sunda yang bentuk penyajiannya campuran yaitu Tembang Sunda Cianjuran yang di dalamnya terdapat sekar dan gending.
Dalam sejarah Tembang Sunda Cianjuran, pada masa Dalem Pancaniti (Bupati R. A. A. Koesoemaningrat) Tembang Sunda Cianjuran tidak dikenal di masyarakat luar, bahkan masyarakat Cianjur pun tidak semua mengenal tentang kesenian tersebut, hanya orang-orang tertentu saja (menak) yang mengetahui sekaligus bisa menikmati Tembang Sunda Cianjuran. Tetapi pada masa pemerintahan Etje Majid Tembang Sunda Cianjuran mulai menyebar keseluruh pelosok Jawa Barat, sehingga sampai sekarang seni Tembang Sunda Cianjuran dikenal di kalangan masyarakat luas, dan orang yang menikmati kesenian tersebut tidak hanya kalangan menak saja tetapi kalangan bawahpun bisa menikmati seni Tembang Sunda Cianjuran.
Tembang Sunda Cianjuran merupakan salah satu jenis seni tradisi yang eksistensinya cukup baik di masyarakat Jawa Barat. Hal ini bisa terlihat dari adanya generasi-generasi muda yang eksis dalam seni Tembang Sunda, dengan menghimpun suatu organisasi yang berkecimpung dalam seni Tembang Sunda seperti DAMAS, LISES, DASENTRA, mereka mampu mempertahankan dan menjaga kelestarian seni Tembang Sunda Cianjuran. Banyak upaya yang dilakukan oleh organisasi tersebut supaya seni Tembang Sunda tetap eksis, diantaranya dengan mengadakan kegiatan pasanggiri Tembang Sunda Cianjuran yang diadakan oleh DAMAS, mengadakan pelatihan Tembang Sunda yang diadakan oleh LISES UNPAD, dan membuat berbagai macam karya dengan mencoba mengangkat seni Tembang Sunda Cianjuran yang dikemas oleh DASENTRA.
Adapun waditra yang digunakan dalam Tembang Sunda Cianjuran diantaranya; kacapi indung, kacapi rincik, suling, rebab,dan dilengkapi oleh juru mamaos. Dalam penyajian Tembang Sunda Cianjuran memiliki ciri khas tersendiri, baik dari lagu (mamaos) yang dibawakan maupun dalam pirigan kacapi. Seperti dalam tabuhan kacapi Tembang ada yang disebut pola tabuh pasieupan yang berfungsi untuk mengiringi lagu mamaos yang terdiri dari; papatet, dedegungan, rarancagan, dan jejemplangan, kemudian ada yang disebut pola tabuhan pirigan lagu panambih yang berfungsi untuk mengiringi lagu tandak (terikat oleh birama), dan ada juga yang disebut pola tabuhan kacapi rincik yang berfungsi untuk melilit lagu dalam sekar panambih.
Seperti telah kita ketahui bahwa Tembang Sunda Cianjuran merupakan salah satu jenis kesenian yang cukup dikenal dimasyarakat Jawa Barat dan kelestariannya masih terjaga. Tetapi dibalik semua itu, ada beberapa masalah yang perlu sikapi dalam Tembang Sunda Cianjuran. Seperti adanya pro dan kontra terhadap perkembangan Tembang Sunda Cianjuran dalam segi musikalitasnya, ada masyarakat (seniman) yang patuh terhadap tetekon (aturan) yang sudah ada dalam Tembang Sunda Cianjuran, kemudian ada masyarakat (seniman) yang ingin berkreativitas untuk lebih mengembangkan seni Tembang Sunda Cianjuran. Dengan demikian saya ingin mencoba membahas lebih jauh tentang permasalahan dalam Tembang Sunda Cianjur
A. Sejarah Tembang Sunda Cianjuran
Kesenian Tembang Sunda Cianjuran sebenarnya adalah seni mamaos, dimana kesenian ini lahir di Kabupaten Cianjur. Dikarenakan seni mamaos ini lahir di Kabupaten Cianjur, maka sejak tahun 1930-an kesenian tersebut di namakan Tembang Sunda Cianjuran dan di kukuhkan pada tahun 1962 ketika diadakan musyawarah Tembang Sunda se Pasundan di Bandung. Seni mamaos merupakan seni vokal Sunda dengan menggunakan alat pengiring (instrumen) kacapi indung, kacapi rincik, suling, dan rebab.
Seni mamaos lahir pada masa pemerintahan Bupati Cianjur yang bernama R.A.A. Kusumaningrat sekitar Tahun 1834 – 1864. Bupati kusumaningrat sering tinggal di sebuah bangunan yang bernama pancaniti, di
Tembang Sunda Cianjuran berasal dari berbagai seni suara Sunda, seperti pantun, Beluk (mamaca), Degung, serta Tembang Macapat Jawa, yaitu Pupuh. lagu-lagu mamaos yang di ambil dari vokal seni pantun di sebut lagu pantun atau papantunan, atau di sebut juga lagu padjajaran, yang diambil dari nama kerajaan sunda pada masa lampau, sedangkan lagu-lagu yang berasal dari pupuh di namakan Tembang.
Pada masa awal penciptaannya, Tembang Sunda Cianjuran merupakan upaya revitalisasi dari seni Pantun, dimana instrumen yang di gunakan dalam Tembang Sunda Cianjuran adalah kacapi yang teknik memainkannya masih jelas berasal dari seni pantun. Begitu pula lagu-lagunya hampir semua berasal dari seni pantun.
Pada masa pamerintahan Bupati R.A.A. Prawiradiredja yaitu sekitar Tahun 1864-1910 seni Tembang Sunda Cianjuran mulai menyebar ke daerah-daerah lain. Salah seorang tokoh yang berperan dalam penyebaran ini dan mempunyai peranan besar yatiu Raden Etje Madjid Natawiredja, beliau sering di undang untuk mengajarkan seni mamaos ke Kabupaten-kabupaten di tatar Priangan. Ketika mamaos mulai menyebar ke daerah lain, masyarakat di luar cianjur menyebutnya dengan Tembang Sunda Cianjuran, karena kesenian ini berasal dari Kabupaten Cianjur. Sebenarnya istilah mamaos menunjukan pada lagu-lagu yang berpola pupuh, karena istilah mamaos adalah kata untuk memperhalus kata “mamaca” .
Dalam lagu-lagu Tembang Sunda Cianjuran menggunakan laras pelog degung, madenda, salendro, serta mandalungan.
Pada awalnya Tembang Sunda Cianjuran berfungsi sebagai musik hiburan dan alat silaturahmi di kalangan para menak, tetapi setelah berkembang ke daerah lain sampai sekarang Tembang Sunda Cianjuran menjadi seni hiburan yang bersifat profit dan bersifat umum seperti kesenian-kesenian pada umumnya.
B. Menyikapi Masalah Dalam Tembang Sunda Cianjuran.
Tembang sunda merupakan sebuah hasil karya manusia yang memiliki nilai-nilai estetik. Hal ini berdasarkan hasil penelitian para ahli yang telah mendalami tentang Tembang Sunda Cianjuran di tempat kelahirannya yaitu di tanah pasundan Jawa Barat.
Kecenderungan masyarakat terhadap Tembang Sunda Cianjuran dikenal sangat sedikit, sehingga dipandang sebagai kesenian yang kurang diminati masyarakat luas umumnya dan pada khususnya masyarakat Cianjur sendiri. Hal itu disebabkan dengan adanya budaya kitch yang menyebar luas kesemua masyarakat khususnya pada generasi penerus. Dengan pesatnya kemajuan zaman, tidak sedikit bentuk-bentuk kesenian tradisi yang telah berubah fungsi termasuk bentuk penyajiannya, hal tersebut diakibatkan oleh kreativitas para seniman yang ingin menyesuaikan diri dengan keadaan zaman. Salah satu contoh yaitu; dahulu Tembang Sunda Cianjuran hanya berada dilingkungan Pendopo saja yang bertujuan sebagai musik kamar atau kalangenan, tetapi dengan adanya perkembangan zaman, Tembang Sunda Cianjuran sudah menyebar ke seluruh daerah bahkan ke mancanegara. Maka tidaklah heran jika seni Tembang Sunda Cianjuran masih cukup eksis dikalangan masyarakat Jawa Barat.
Meskipun seni Tembang Sunda Cianjuran pelestariannya masih terjaga, tetapi didalamnya terdapat berbagai macam masalah berupa konflik dimasyarakat (seniman) pendukungnya. Seperti adanya pro dan kontra yang terjadi dikalangan masyarakat pendukungnya, ada sebagian masyarakat yang patuh terhadap tetekon (aturan) yang sudah ada, serta masyarakat yang ingin lebih mengembangkan lagi seni Tembang Sunda terutama dalam segi musikalnya. Kemungkinan besar hal ini dipengaruhi oleh rasa ketakutan sebagian masyarakat pendukung terhadap hilangnya nilai-nilai estetik dalam Tembang Sunda Cianjuran, dan sebagian masyarakat yang ingin mempertahankan eksistensi Tembang Sunda dengan cara mengembangkan krearivitas supaya kesenian tersebut tidak tersingkir oleh adanya kemajuan zaman yang semakin pesat. Kita bisa melihat salah satu contoh fenomena terjadinya pro dan kontra dikalangan masyarakat, misalnya dalam masalah senggol (ornament) sering terjadi perbedaan pendapat. Ketika seorang tokoh Tembang Sunda yang bernama Enip Sukanda mencoba memperkenalkan senggol-senggol asli dari Cianjur, sebagian tokoh seniman Tembang Sunda tidak mengakui senggol-senggol tersebut, walapun akhirnya mereka sekarang mengakui terhadap keberadaan senggol tersebut. Pro dan kontra inilah yang menyebabkan seni Tembang Sunda banyak mengalami masalah.
Faktor yang menyebabkan terjadinya pro dan kontra ini adalah pada saat pertama kali Tembang Sunda Cianjuran diciptakan, tidak ada pendokumentasian secara tertulis baik dari segi kesejarahan maupun dari segi musikalitasnya. Untuk menyikapi masalah ini, kita juga harus sadar betul bahwa seni karawitan Sunda bersifat fleksible atau bisa berubah-ubah sesuai dengan perubahan zaman. Dengan demikian, wajar ada sebagian masyarakat yang khawatir terhadap hilangnya keaslian dari Tembang Sunda Cianjuran.
Ababila kita sikapi secara bijaksana mengenai perbedaan pendapat diatas, bisa kita lihat dari segi posotifnya. Dari pendapat yang pertama, masyarakat tidak ingin kehilangan unsur estetik dan keklasikannya, sementara pendapat yang kedua, masyarakat tidak ingin kehilangan seni Tembang Sunda Cianjuran hanya karena tersisih oleh kesenian-kesenian lain yang baru bermunculan. Artinya dalam berkreativitas, seorang seniman harus bisa memberikan insvirasi dan inovasi terhadap Tembang Sunda Cianjuran tanpa menghilangkan unsur-unsur keasliannya dan tidak terlalu jauh dari aturan-aturan yang sudah ada, sehingga seni Tembang Sunda Cianjuran bisa terus eksis dimasyarakat dengan sajian lebih menarik tanpa kehilangan unsur-unsur ketradisiannya.